Tuesday 29 December 2015

Variasi letak CENTRAL FUEL TUBE terhadap CONCENTRIC ANNULUS TUBE pada pergeseran daerah kestabilan api difusi dengan bahan bakar LPG

Variasi letak CENTRAL FUEL TUBE terhadap CONCENTRIC ANNULUS TUBE pada pergeseran daerah kestabilan api difusi dengan bahan bakar LPG. Variasi letak ujung central fuel tube terhadap karakteristik kestabilan api difusi double concentric jet flow telah diteliti. Disini kecepatan bahan bakar divariasikan dari 1 – 12 m/s, kecepatan udara primer 0,7 – 3,2 m/s, dan kecepatan udara sekunder sebesar 3 m/s. Metode penelitian yang dilakukan adalah observasi secara langsung terhadap dinamika pangkal api dengan tujuan visualisasi secara langsung dengan menggunakan still kamera untuk mengetahui geometri api difusi dan untuk mengetahui karakteristik lift off dan blow out terhadap perubahan posisi central fuel tube. Hasilnya didapatkan diagram kestabilan api yang menunjukkan batas kecepatan udara primer dan kecepatan bahan bakar untuk terjadinya lift off dan blow out. Dari diagram kestabilan didapatkan kesimpulan bahwa daerah kestabilan terbesar terjadi pada saat letak ujung central fuel tube berada di atas ujung concentric annulus tube dan daerah kestabilan terkecil terjadi pada saat letak ujung central fuel tube berada di bawah ujung concentric annulus tube. Dari visualisasi diketahui bahwa saat lift, intensitas turbulensi meningkat sehingga api menjadi lebih turbulen dengan pangkal tetap bertahan laminar.
Kata kunci : kestabilan api, burner, lift off, blow out

Latar Belakang
Api difusi banyak digunakan dalam sistem pembakaran industri, karena secara prinsip sistem pembakaran ini mempunyai banyak keuntungan. Salah satu keuntungan dan kemudahannya adalah dapat mengontrol api hasil dari pembakarannya. Api dari berbagai macam burner yang digunakan dalam dunia industri tentu menghasilkan pola atau karakteristik api yang berbeda, tergantung bagaimana bentuk geometris burnernya. Contohnya simple jet burner
yang digunakan pada glass melting, pengoperasian cement clinker, serta pada steel furnaces. Oleh karena itu, maka para perancang peralatan pembakaran dihadapkan pada banyaknya masalah mengenai bentuk dan ukuran api, flame holding, perpindahan panas, emisi gas buang, dan kestabilan apinya
Yang paling penting dalam perancangan suatu sistem pembakaran adalah pengoperasiannya yang efisien dan terjaga kestabilannya. Dengan alasan tersebut, maka penelitian-penelitian banyak dititikberatkan pada pemodifikasian burner dan pengamatan karakteristik kestabilan apinya.
Batas kestabilan api pada umumnya menjelaskan batas operasional dari sistem pembakaran. Ada dua kondisi aliran kritis yang berhubungan dengan kestabilan api, yaitu lift off dan blow out. Kondisi kritis batas kestabilan tersebut sebagian besar tergantung pada kondisi geometris burnernya dan konfigurasi alirannya, juga pada beberapa kasus lain tergantung pada jenis bahan bakarnya. Dengan menggunakan bahan bakar metana dan bentuk concentric jet burner, F. Takahashi (1990) berhasil membuat diagram kestabilan api dengan kondisi batas lift off dan blow out.
Meskipun fenomena-fenomena yang terjadi pada kestabilan api difusi telah banyak diteliti pada berbagai macam sistem pembakaran, tetapi masih banyak kesimpangsiuran apa saja yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut. Oleh karena itu banyak dilakukan penelitian yang salah satunya, B.J. Lee dkk (1994) yang meneliti mengenai efek pengenceran bahan bakar yang berpengaruh terhadap perilaku lift off dan blow out pada api difusi.
Sudah lama diperkirakan bahwa pada kecepatan api tertentu di daerah pencampuran api difusi dapat menyebabkan api hasil dari proses pembakaran merambat menjauhi arah aliran bahan bakar, sehingga menyebabkan terjadinya lift off. Dari banyaknya penelitian mengenai kestabilan api dan struktur api, pada beberapa jenis bahan bakar mekanisme lift off dipengaruhi oleh keseimbangan antara kecepatan udara primer dan kecepatan bahan bakarnya. Meskipun hal ini banyak menghasilkan pendapat yang berbeda-beda mengenai seberapa besar batasnya, namun yang jelas dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, lift off dihasilkan dari pemanjangan api karena regangan api yang tinggi.
Eickoff dkk (1985) dan Takahashi (1996) telah menyimpulkan bahwa lift off disebabkan oleh pemanjangan api karena adanya intervensi gerakan vorteks pada pangkal api. Dari beberapa penelitian terdahulu disimpulkan bahwa peristiwa pemanjangan api tersebut tergantung pada lip thickness burner, diamater burner, dan bentuk burnernya, apakah itu kontour noselnya maupun bentuk pipanya.
Banyaknya faktor yang mempengaruhi kestabilan api difusi masih terus diteliti terutama dengan penggunaan model combustor yang berbeda-beda, sepert F. Takahashi dengan double concentric jet flow-nya yang meneliti mengenai struktur api difusi dengan bahan bakar hidrogen. Takahasahi belum meneliti mengenai letak fuel tube, yang merupakan faktor penting dalam pemodifikasian burner yang dapat mempengaruhi kestabilan apinya. Berawal dari penelitian tersebut, perlu diteliti lebih lanjut tentang proses percampuran alirannya sehingga variasi letak nosel pada burner perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya lebih lanjut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik lift off dan blow out terhadap variasi letak posisi ujung central fuel tube dan melakukan direct visualization untuk mengetahui geometri api saat lift off dan stabil.

METODE PENELITIAN
Bahan bakar yang digunakan adalah LPG dengan komposisi campuran propana – butana 99% dan jenis burner yang digunakan dalam penelitian ini adalah double concentric jet burner. Dapat dilihat pada skema burner bahwa burner ini terdiri atas sebuah central fuel tube dengan diameter 0,45 cm yang berfungsi sebagai nosel bahan bakar, sebuah concentric annulus tube dengan diamater 1 inch yang berfungsi sebagai saluran udara primer, dan external air pipe dengan diameter 4 inch yang berfungsi sebagai saluran udara sekunder. Untuk menghasilkan udara primer dan udara sekunder dialirkan masing-masing 3 buah blower, 2 buah untuk udara primer dan sebuah untuk udara sekunder. Besar kecilnya kecepatan bahan bakar, udara primer, dan udara sekunder diatur masing-masing dengan sebuah katup, dan besarnya aliran diukur dengan rotameter kecuali untuk udara sekunder yang kecepatan alirannya diukur dengan menggunakan anemometer.
Untuk mengamati kondisi api, pada ujung combustor dipasang seksi uji yaitu berupa sebuah chamber dengan ukuran 30 cm x 10,16 cm x 10,16 cm, dan disini diletakkan lubang pengamatan, yaitu sebuah kaca dengan ukuran 5 x 20 cm2 dengan tebal 8 mm. Kaca ini selain berfungsi untuk melihat kondisi api juga sebagai lubang tempat kamera dipasang untuk visualisasi api yang dilakukan dengan direct photograph.
Dalam penelitian ini ada 2 variabel yang divariasikan, yaitu :
1. Letak ujung central fuel tube yang divariasikan terhadap ujung concentric annulus tube dengan jarak tiap 5 mm.
2. Kecepatan aliran udara primer dan kecepatan bahan bakar.
Gambar. 1 Skema burner
Pada prinsipnya, pengujian dilakukan masing-masing pada posisi –1,5 cm, –1 cm, -0,5 cm, 0 cm, +0,5 cm, +1 cm, +1,5 cm dengan cara yang sama. Mula-mula semua katup bahan bakar, concentric annulus tube, dan external air pipe dalam posisi tertutup. Selanjutnya katup external air pipe dibuka dan diukur kecepatan alirannya dengan menggunakan anemometer angin pada kecepatan 3 m/s. Selanjutnya api dinyalakan, dengan perlahan-lahan membuka katup concentric annulus tube pada kecepatan aliran tertentu. Setelah itu kecepatan bahan bakar divariasikan hingga api lift off dan kemudian padam.
Pada penelitian ini, api dikatakan lift off saat pangkal api bergerak menjauhi port burner. Dan api dikatakan blow out tepat saat api padam. Dari kejadian tersebut, dicatat data dan diplot dalam diagram kestabilan api.
Selain itu untuk mendapatkan diagram kestabilan api, penelitian ini juga mengamati secara visual bagaimana api tersebut stabil dan bagaimana saat terjadi lift off.
Untuk memperoleh diagram stabilitas api, penelitian ini dilakukan dengan kondisi sebagai
Tabel 1. Kondisi kecepatan aliran udara dan bahan bakar
Kecepatan bahan bakar
1 – 12 m/s
Kecepatan udara primer
0,7 – 3,2 m/s
Kecepatan udara sekunder
3 m/s
Posisi ujung nosel (y)
-1,5 s/d +1,5 cm

Tabel 2. Posisi ujung central fuel tube

Posisi Ujung Nosel Terhadap Ujung Concentric Annulus Tube
Us
Case A
Sejajar
y = 0 cm
3 m/s
Case B
Di bawah
y = -1,5 cm, -1 cm, dan –0,5 cm
3 m/s
Case C
Di atas
y = +0,5 cm, +1 cm, dan +1,5 cm
3 m/s

Adapun visualisasi api dilakukan pada Case A, B, dan, C dengan variasi letak posisi ujung central fuel tube terhadap concentric annulus tube untuk melihat geometri api saat lift off dan stabil.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Visualisasi Api Difusi
Visualisasi api ini untuk melihat masing-masing kondisi api pada tiap-tiap posisi. Adapun hasil visualisasi yang didapat dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Case A
Warna pangkal api masing-masing pada kondisi ini adalah biru dengan badan api berwarna kuning keputihan. Dibandingkan dengan Case B dan Case C bentuk api pada posisi ini lebih mempunyai bentuk yang stabil, yaitu dengan struktur api yang teratur dengan bentuk menyerupai kerucut (cone) terbalik.
Apabila vf dinaikkan, api akan mengalami lift. Warna pangkal api pada kondisi ini adalah biru dengan ukuran yang lebih luas dibandingkan saat stabil tadi. Dan bentuk api saat lift tidak merubah bentuk api awal, yaitu tetap seperti cone. Hanya saja kondisinya lebih turbulen dibandingkan saat stabil tadi, sedangkan pangkal apinya bertahan dalam kondisi laminer.
b. Case B
Pada Case B ini, visualisasi dilakukan hanya pada posisi –1 cm. Warna api secara umum sama, yaitu pada pangkalnya berwarna biru sedangkan pada bdan dan ujungnya berwarna kuning keputihan. Warna kuning seperti ini terjadi karena pembentukan jelaga. Seperti diketahui bahwa pada pembakaran difusi sangat mudah terjadi pembentukan jelaga.
Pada kecepatan udara primer vp rendah dan kecepatan bahan bakar vf rendah, bentuk api menyerupai bunga api pada pangkal apinya. Apabila vf dinaikkan bunga api akan bergerak menuju ke ujung api dengan struktur pangkal api tetap dalam kondisi laminer, sedangkan ukuran api menjadi lebih besar baik lebar maupun panjangnya. Saat vf dinaikkan lagi, maka api akan litf off. Pada kondisi lift ini dapat didefinisikan bahwa pangkal api berada lebih kurang 3 cm dari ujung burner bahan bakar. Pada keadaan ini pangkal api tetap bertahan dengan struktur laminer dengan bentuk seperti kerucut. Kondisi api saat lift ini adalah lebih turbulen dibandingkan keadaan sebelumnya.
c. Case C
Pada Case C ini, visualisasi dilakukan pada posisi +1 cm. Pada vp yang rendah, api mempunyai bentuk seperti bola api. Keadaan api seolah-olah bergerak masuk menuju ke arah concentric annulus tube. Hal ini karena dalam kondisi kaya bahan bakar sehingga gradien konsentrasi bahan bakar cukup besar sehingga bahan bakar bergerak untuk berdifusi dengan udara untuk bereaksi. Warna api hampir seluruhnya mulai pangkal hingga ujung api berwarna kuning.
Kemudian apabila vf dinaikkan, maka bola api menghilang dan terlihat pangkal api berwarna biru. Warna biru pada pangkal api pada posisi ini mempunyai ukuran terpanjang dibandingkan dengan kedua posisi yang lain. Sedangkan badan dan ujung api tetap didominasi oleh warna kuning keputihan. Saat vf dinaikkan lagi, api mengalami lift, yaitu pangkal api terlepas dari ujung burner bahan bakar. Sama dengan kondisi-kondisi yang lain, struktur api pada saat lift ini mempunyai struktur yang lebih turbulen dibandingkan saat stabil.
Hasil Diagram Stabilitas Api Difusi
Untuk menjelaskan dan menggambarkan kondisi kestabilan api pada penelitian ini dibuat suatu diagram kestabilan api dari data yang di dapat, yang menerangkan hubungan antara kecepatan udara primer vp dan kecepatan bahan bakar vf masing-masing pada Case A, Case B, dan Case C. Dari tiap-tiap diagram kestabilan tersebut, didapatkan daerah-daerah kestabilan api difusi yang meliputi daerah api stabil, daerah api lift off, dan daerah api blow out. Masing-masing daerah tersebut dibatasi oleh garis tepat saat api mengalami kondisi lift off dan saat api padam (blow out).
a. Case A
Gambar 2 menunjukkan diagram kestabilan api untuk Case A. Pada Us = 3 m/s, lift off terjadi pada vf 6 m/s. Sedangkan titik dimana api padam (blow out) api mulai padam pada vp 1,7 m/s dan vf = 11 m/s.
b. Case B
Gambar 3, 4, dan 5 menggambarkan diagram kestabilan api untuk Case B. Pada Case B ini, kondisi lift off lebih cepat tercapai bila dibandingkan dengan Case A. Dapat dilihat di gambar bahwa lift off rata-rata terjadi pada kecepatan bahan bakar sekitar 4 m/s hingga 1 m/s. Sedangkan untuk kecepatan udara primer pada Gambar 3 sekitar 0,7 hingga 1 m/s, kemudian pada Gambar 4 sekitar 0,7 hingga 1,5 m/s, dan pada Gambar 5 sekitar 0,7 hingga 1. Lift off pada posisi ini lebih cepat terjadi dengan vp dan vf yang cukup rendah.
Pada saat posisi lift off tercapai, kecepatan bahan bakar dinaikkan terus hingga tercapai kondisi blow out. Blow out pada Case B ini terjadi pada vf yang cukup tinggi yaitu sebesar 12 m/s. Dengan kata lain bahwa kondisi lift off pada posisi ini berada pada daerah yang paling luas. Pada kecepatan vp di atas 1,5 m/s, begitu api dinyalakan, posisinya pun sudah lift, dengan kecepatan bahan bakar untuk blow out awal tinggi, yaitu sekitar 12 m/s.
Pada posisi ujung nosel seperti ini, meskipun lift off lebih cepat terjadi dengan vp dan vf yang rendah, tetapi blow out terjadi pada vp dan vf yang cukup tinggi, yang artinya lift off berlangsung cukup lama.
c. Case C
Gambar 6, 7, dan 8 menggambarkan diagram kestabilan api untuk Case C. Secara umum, gambar pada Case C ini mempunyai daerah kestabilan yang paling tinggi yang terlihat bahwa lift off rata-rata terjadi pada vf = 12 m/s yang merupakan kecepatan bahan bakar tertinggi dibandingkan Case A dan Case B. Pada Gambar 6, lift off terjadi pada vp = 0,7 m/s sedangkan pada Gambar 7, lift off terjadi pada vp = 1 m/s dan pada Gambar 8, lift off terjadi pada vp = 0,7 m/s. Pada gambar-gambar Case C ini, kondisi lift off dan blow outnya terjadi dalam jarak yang dekat, yang artinya saat kondisi api lift, api sudah berada dalam keadaan yang sangat tidak stabil.

Pembahasan
Api pada Case A mempunyai bentuk api menyerupai kerucut (cone) terbalik seperti terlihat pada Gambar 9. Struktur apinya pun relatif teratur tanpa banyak mengalami flicker. Diperkirakan pada kondisi ini aliran antara bahan bakar, udara primer, dan udara sekunder terjadi secara seimbang artinya tidak ada gangguan aliran seperti adanya gaya apung yang mengganggu nyala api. Aliran bahan bakar, udara primer, dan udara sekunder berlangsung simultan tanpa adanya resirkulasi aliran balik baik dari bahan bakar, udara primer maupun udara sekunder.
Hal ini berbeda dengan Case B, seperti terlihat pada Gambar 10 yang pada vf dan vp rendah mempunyai kecenderungan bentuk api yang menyerupai bunga, bahkan lidah apinya cenderung masuk ke dalam saluran pipa udara primer. Kondisi api yang demikian ini disebabkan oleh percampuran bahan bakar dan udara primer sebelum bereaksi dengan udara sekunder berada dalam satu zona, yaitu di daerah ujung udara primer di sekeliling burner, sehingga ada suatu wilayah dimana bahan bakar dan udara bercampur dengan baik.
Pada Case C, api cenderung mempunyai bentuk bola api pada pangkal apinya, seperti terlihat pada Gambar 11. Fenomena ini telah diteliti oleh Vranos, yaitu ada suatu fenomena lift off yang terjadi pada api yang dibentuk di ujung nosel dengan kecepatan udara yang tinggi dan kecepatan bahan bakar yang rendah. Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya zona resirkulasi yang terbentuk pada suatu wilayah sekitar ujung nosel bahan bakar dimana reaksi pembakaran pada daerah nosel ini merupakan wilayah atau daerah pembakaran yang paling baik, sehingga pada zona resirkulasi tersebut menimbulkan bulatan api yang bentuknya menyerupai bola. Zona resirkulasi ini dapat terbentuk karena adanya difusi bahan bakar dengan udara primer yang terjadi pada daerah sekitar ujung saluran bahan bakar.
Pada penelitian ini, lift didefinisikan adanya daerah dimana terjadi pelepasan pangkal api dari ujung pipa bahan bakar akibat dari ketidakseimbangan kecepatan aliran bahan bakar dan udara baik itu udara primer maupun udara sekunder. Dari visualisasi yang telah dilakukan, seperti terlihat pada Gambar 12, saat kondisi lift, struktur api secara umum lebih turbulen dibandingkan dengan kondisi saat stabil. Hal ini dikarenakan kenaikan kecepatan aliran bahan bakar, sehingga menyebabkan angka Re yang lebih tinggi yang tentu saja membuat api menjadi lebih turbulen.
Pada Case A, dengan bentuk api seperti kerucut dan dengan kontour aliran teratur stabil, fenomena lift yang terjadi pada kondisi ini sama dengan lift yang diteliti oleh Takahashi (1990), yaitu teori lift-nya yang pertama yang menyatakan bahwa lift dikendalikan oleh pangkal api akibat dari ketidakseimbangan antara kecepatan aliran gas dan kecepatan penyalaan api serta adanya gangguan aliran dalam pipa. Pada penelitian ini, lift terjadi karena ketebalan pipa bahan bakar yang tipis. Mekanisme lift ini didasarkan pada ketidakseimbangan antara kecepatan aliran bahan bakar pada pangkal api dan kecepatan penyalaan dalam proses percampuran antara aliran jet bahan bakar dan fluida pengoksidasi. Hal ini karena pada dasarnya api mempunyai perilaku untuk tetap bertahan laminer sehingga dengan peningkatan kecepatan bahan bakar yang tinggi, pangkal api tetap bertahan untuk laminer. Kemudian dengan hilangnya keseimbangan pada proses percampurannya, api bergerak naik dengan pangkal api bertahan untuk laminer meskipun sangat kecil sehingga bentuknya menyerupai cincin yang terus bergerak ke atas hingga api blow out (padam).
Pada Case B, lift lebih cepat terjadi karena bahan bakar bercampur dengan udara primer terlebih dahulu secara difusi dalam saluran udara primer sehingga api yang keluar kemudian direaksikan lagi secara difusi juga dengan udara sekunder. Oleh karena itu dengan penambahan udara primer secara bertahap api lebih cepat mengalami lift karena konsentrasi udara yang tinggi pada ujung pipa sehingga api lebih cepat lift. Saat lift tercapai, seiring dengan penambahan kecepatan bahan bakar, api dalam kondisi lift yang stabil bahkan pada kecepatan udara primer yang rendah, saat kecepatan bahan bakar dinaikkan api bukannya blow out tetapi malah semakin membesar. Apabila dibandingkan dengan kedua Case yang lain, api pada posisi ini mempunyai bentuk dan panjang api terpendek. Hal ini karena besarnya konsentrasi udara yang bereaksi dengan bahan bakar sehingga selain menyempurnakan pembakaran, udara disini juga memperpendek ukuran api.
Pada Case C, lift relatif lebih lama tercapai. Fenomena lift disini terjadi pada api yang dibentuk di ujung nosel dengan kecepatan udara yang tinggi dan kecepatan bahan bakar yang rendah. Hal ini terjadi karena adanya zona resirkulasi yang terbentuk pada wilayah sekitar ujung pipa bahan bakar dimana reaksi pembakaran pada daerah nosel ini merupakan wilayah atau daerah pembakaran yang paling baik, sehingga lift disini disebabkan oleh peningkatan kecepatan bahan bakar yang tinggi sehingga semburannya menembus dan memecah daerah resirkulasi yang kemudian dengan cepat memberhentikan reaksi, sehingga api lebih cepat padam. Kondisi ini mempunyai reaksi dengan dengan proses percampuran terbaik yang dibuktikan dengan luasnya daerah kestabilan. Tetapi apabila kondisi lift tercapai, api akan dengan mudah padam. Untuk vp tinggi dan vf rendah, api mengalami blow out dangan sangat cepat karena kondisi api lift ini dicapai oleh pangkal aliran karena menurunnya densitas fluida yang berlebihan pada bahan bakar oleh udara primer dan udara sekunder sehingga menyebabkan gangguan pada api. Dengan gangguan ini api menjadi tidak stabil, dan akhirnya padam.

KESIMPULAN

Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa daerah kestabilan terbesar terletak pada posisi nosel di atas posisi saluran udara primer. Tetapi pada saat api mulai lift off, kondisi api sangat tidak stabil bahkan cenderung langsung padam sedangkan daerah kestabilan terkecil terletak pada posisi nosel di bawah posisi saluran udara primer. Tetapi pada saat api mulai lift off, kondisi api masih dalam kondisi lift yang stabil dan blow out terjadi dalam jarak dan waktu yang paling lama. Dari visualisasi diketahui bahwa saat lift, intensitas turbulensi meningkat sehingga api menjadi lebih turbulen dengan pangkal tetap bertahan laminar.

No comments:

Post a Comment