Variasi
letak CENTRAL FUEL TUBE terhadap CONCENTRIC ANNULUS TUBE pada
pergeseran daerah kestabilan api difusi dengan bahan bakar LPG. Variasi letak ujung central fuel tube terhadap
karakteristik kestabilan api difusi double concentric jet flow telah diteliti.
Disini kecepatan bahan bakar divariasikan dari 1 – 12 m/s, kecepatan udara
primer 0,7 – 3,2 m/s, dan kecepatan udara sekunder sebesar 3 m/s. Metode
penelitian yang dilakukan adalah observasi secara langsung terhadap dinamika
pangkal api dengan tujuan visualisasi secara langsung dengan menggunakan still
kamera untuk mengetahui geometri api difusi dan untuk mengetahui karakteristik
lift off dan blow out terhadap perubahan posisi central fuel tube. Hasilnya
didapatkan diagram kestabilan api yang menunjukkan batas kecepatan udara primer
dan kecepatan bahan bakar untuk terjadinya lift off dan blow out. Dari diagram
kestabilan didapatkan kesimpulan bahwa daerah kestabilan terbesar terjadi pada
saat letak ujung central fuel tube berada di atas ujung concentric annulus tube
dan daerah kestabilan terkecil terjadi pada saat letak ujung central fuel tube
berada di bawah ujung concentric annulus tube. Dari visualisasi diketahui bahwa
saat lift, intensitas turbulensi meningkat sehingga api menjadi lebih turbulen
dengan pangkal tetap bertahan laminar.
Kata kunci : kestabilan api, burner, lift off, blow out
Latar
Belakang
Api
difusi banyak digunakan dalam sistem pembakaran industri, karena secara prinsip
sistem pembakaran ini mempunyai banyak keuntungan. Salah satu keuntungan dan
kemudahannya adalah dapat mengontrol api hasil dari pembakarannya. Api dari
berbagai macam burner yang digunakan dalam dunia industri tentu
menghasilkan pola atau karakteristik api yang berbeda, tergantung bagaimana
bentuk geometris burnernya. Contohnya simple jet burner
yang digunakan pada glass melting, pengoperasian cement clinker, serta pada steel furnaces. Oleh karena itu, maka para perancang peralatan pembakaran dihadapkan pada banyaknya masalah mengenai bentuk dan ukuran api, flame holding, perpindahan panas, emisi gas buang, dan kestabilan apinya
yang digunakan pada glass melting, pengoperasian cement clinker, serta pada steel furnaces. Oleh karena itu, maka para perancang peralatan pembakaran dihadapkan pada banyaknya masalah mengenai bentuk dan ukuran api, flame holding, perpindahan panas, emisi gas buang, dan kestabilan apinya
Yang
paling penting dalam perancangan suatu sistem pembakaran adalah
pengoperasiannya yang efisien dan terjaga kestabilannya. Dengan alasan
tersebut, maka penelitian-penelitian banyak dititikberatkan pada pemodifikasian
burner dan pengamatan karakteristik kestabilan apinya.
Batas
kestabilan api pada umumnya menjelaskan batas operasional dari sistem
pembakaran. Ada dua kondisi aliran kritis yang berhubungan dengan kestabilan
api, yaitu lift off dan blow out. Kondisi kritis batas kestabilan
tersebut sebagian besar tergantung pada kondisi geometris burnernya dan
konfigurasi alirannya, juga pada beberapa kasus lain tergantung pada jenis
bahan bakarnya. Dengan menggunakan bahan bakar metana dan bentuk concentric
jet burner, F. Takahashi (1990) berhasil membuat diagram kestabilan api
dengan kondisi batas lift off dan blow out.
Meskipun
fenomena-fenomena yang terjadi pada kestabilan api difusi telah banyak diteliti
pada berbagai macam sistem pembakaran, tetapi masih banyak kesimpangsiuran apa
saja yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut. Oleh karena itu banyak
dilakukan penelitian yang salah satunya, B.J. Lee dkk (1994) yang meneliti
mengenai efek pengenceran bahan bakar yang berpengaruh terhadap perilaku lift
off dan blow out pada api difusi.
Sudah
lama diperkirakan bahwa pada kecepatan api tertentu di daerah pencampuran api
difusi dapat menyebabkan api hasil dari proses pembakaran merambat menjauhi
arah aliran bahan bakar, sehingga menyebabkan terjadinya lift off. Dari
banyaknya penelitian mengenai kestabilan api dan struktur api, pada beberapa
jenis bahan bakar mekanisme lift off dipengaruhi oleh keseimbangan
antara kecepatan udara primer dan kecepatan bahan bakarnya. Meskipun hal ini
banyak menghasilkan pendapat yang berbeda-beda mengenai seberapa besar
batasnya, namun yang jelas dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, lift
off dihasilkan dari pemanjangan api karena regangan api yang tinggi.
Eickoff
dkk (1985) dan Takahashi (1996) telah menyimpulkan bahwa lift off disebabkan
oleh pemanjangan api karena adanya intervensi gerakan vorteks pada pangkal api.
Dari beberapa penelitian terdahulu disimpulkan bahwa peristiwa pemanjangan api
tersebut tergantung pada lip thickness burner, diamater burner,
dan bentuk burnernya, apakah itu kontour noselnya maupun bentuk pipanya.
Banyaknya
faktor yang mempengaruhi kestabilan api difusi masih terus diteliti terutama
dengan penggunaan model combustor yang berbeda-beda, sepert F. Takahashi
dengan double concentric jet flow-nya yang meneliti mengenai struktur
api difusi dengan bahan bakar hidrogen. Takahasahi belum meneliti mengenai
letak fuel tube, yang merupakan faktor penting dalam pemodifikasian burner
yang dapat mempengaruhi kestabilan apinya. Berawal dari penelitian
tersebut, perlu diteliti lebih lanjut tentang proses percampuran alirannya
sehingga variasi letak nosel pada burner perlu dilakukan untuk
mengetahui pengaruhnya lebih lanjut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik lift
off dan blow out terhadap variasi letak posisi ujung central fuel
tube dan melakukan direct visualization untuk mengetahui geometri
api saat lift off dan stabil.
METODE
PENELITIAN
Bahan bakar yang digunakan adalah LPG dengan komposisi campuran
propana – butana 99% dan jenis burner yang digunakan dalam penelitian
ini adalah double concentric jet burner. Dapat dilihat pada skema burner
bahwa burner ini terdiri atas sebuah central fuel tube dengan
diameter 0,45 cm yang berfungsi sebagai nosel bahan bakar, sebuah concentric
annulus tube dengan diamater 1 inch yang berfungsi sebagai saluran udara
primer, dan external air pipe dengan diameter 4 inch yang berfungsi
sebagai saluran udara sekunder. Untuk menghasilkan udara primer dan udara
sekunder dialirkan masing-masing 3 buah blower, 2 buah untuk udara primer dan
sebuah untuk udara sekunder. Besar kecilnya kecepatan bahan bakar, udara
primer, dan udara sekunder diatur masing-masing dengan sebuah katup, dan
besarnya aliran diukur dengan rotameter kecuali untuk udara sekunder yang kecepatan
alirannya diukur dengan menggunakan anemometer.
Untuk mengamati kondisi api, pada ujung combustor dipasang
seksi uji yaitu berupa sebuah chamber dengan ukuran 30 cm x 10,16 cm x
10,16 cm, dan disini diletakkan lubang pengamatan, yaitu sebuah kaca dengan
ukuran 5 x 20 cm2 dengan tebal 8 mm. Kaca ini selain berfungsi untuk
melihat kondisi api juga sebagai lubang tempat kamera dipasang untuk
visualisasi api yang dilakukan dengan direct photograph.
Dalam
penelitian ini ada 2 variabel yang divariasikan, yaitu :
1.
Letak ujung central fuel tube yang divariasikan terhadap ujung concentric
annulus tube dengan jarak tiap 5 mm.
2.
Kecepatan aliran udara primer dan kecepatan bahan bakar.
Gambar. 1 Skema burner
Pada prinsipnya, pengujian dilakukan masing-masing pada posisi
–1,5 cm, –1 cm, -0,5 cm, 0 cm, +0,5 cm, +1 cm, +1,5 cm dengan cara yang sama.
Mula-mula semua katup bahan bakar, concentric annulus tube, dan external
air pipe dalam posisi tertutup. Selanjutnya katup external air pipe dibuka
dan diukur kecepatan alirannya dengan menggunakan anemometer angin pada
kecepatan 3 m/s. Selanjutnya api dinyalakan, dengan perlahan-lahan membuka
katup concentric annulus tube pada kecepatan aliran tertentu. Setelah
itu kecepatan bahan bakar divariasikan hingga api lift off dan kemudian
padam.
Pada
penelitian ini, api dikatakan lift off saat pangkal api bergerak
menjauhi port burner. Dan api dikatakan blow out tepat saat api
padam. Dari kejadian tersebut, dicatat data dan diplot dalam diagram kestabilan
api.
Selain
itu untuk mendapatkan diagram kestabilan api, penelitian ini juga mengamati
secara visual bagaimana api tersebut stabil dan bagaimana saat terjadi lift
off.
Untuk memperoleh diagram stabilitas api, penelitian ini dilakukan
dengan kondisi sebagai
Tabel 1. Kondisi kecepatan aliran udara dan bahan bakar
Kecepatan
bahan bakar
|
1
– 12 m/s
|
Kecepatan
udara primer
|
0,7
– 3,2 m/s
|
Kecepatan
udara sekunder
|
3
m/s
|
Posisi
ujung nosel (y)
|
-1,5
s/d +1,5 cm
|
Tabel 2. Posisi ujung central fuel tube
Posisi
Ujung Nosel Terhadap Ujung Concentric Annulus Tube
|
Us
|
|
Case A
|
Sejajar
y
= 0 cm
|
3
m/s
|
Case B
|
Di
bawah
y
= -1,5 cm, -1 cm, dan –0,5 cm
|
3
m/s
|
Case
C
|
Di
atas
y
= +0,5 cm, +1 cm, dan +1,5 cm
|
3
m/s
|
Adapun visualisasi api dilakukan pada Case A, B, dan, C dengan
variasi letak posisi ujung central fuel tube terhadap concentric
annulus tube untuk melihat geometri api saat lift off dan stabil.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Hasil Visualisasi Api Difusi
Hasil Visualisasi Api Difusi
Visualisasi api ini untuk melihat masing-masing kondisi api pada
tiap-tiap posisi. Adapun hasil visualisasi yang didapat dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Case A
Warna
pangkal api masing-masing pada kondisi ini adalah biru dengan badan api
berwarna kuning keputihan. Dibandingkan dengan Case B dan Case C bentuk api
pada posisi ini lebih mempunyai bentuk yang stabil, yaitu dengan struktur api
yang teratur dengan bentuk menyerupai kerucut (cone) terbalik.
Apabila
vf dinaikkan,
api akan mengalami lift. Warna pangkal api pada kondisi ini adalah biru
dengan ukuran yang lebih luas dibandingkan saat stabil tadi. Dan bentuk api
saat lift tidak merubah bentuk api awal, yaitu tetap seperti cone.
Hanya saja kondisinya lebih turbulen dibandingkan saat stabil tadi, sedangkan
pangkal apinya bertahan dalam kondisi laminer.
b. Case B
Pada
Case B ini, visualisasi dilakukan hanya pada posisi –1 cm. Warna api secara
umum sama, yaitu pada pangkalnya berwarna biru sedangkan pada bdan dan ujungnya
berwarna kuning keputihan. Warna kuning seperti ini terjadi karena pembentukan
jelaga. Seperti diketahui bahwa pada pembakaran difusi sangat mudah terjadi
pembentukan jelaga.
Pada kecepatan udara primer vp rendah dan kecepatan bahan
bakar vf rendah,
bentuk api menyerupai bunga api pada pangkal apinya. Apabila vf dinaikkan
bunga api akan bergerak menuju ke ujung api dengan struktur pangkal api tetap
dalam kondisi laminer, sedangkan ukuran api menjadi lebih besar baik lebar
maupun panjangnya. Saat vf dinaikkan lagi, maka api akan litf off.
Pada kondisi lift ini dapat didefinisikan bahwa pangkal api berada lebih
kurang 3 cm dari ujung burner bahan bakar. Pada keadaan ini pangkal api
tetap bertahan dengan struktur laminer dengan bentuk seperti kerucut. Kondisi
api saat lift ini adalah lebih turbulen dibandingkan keadaan sebelumnya.
c.
Case C
Pada
Case C ini, visualisasi dilakukan pada posisi +1 cm. Pada vp yang
rendah, api mempunyai bentuk seperti bola api. Keadaan api seolah-olah bergerak
masuk menuju ke arah concentric annulus tube. Hal ini karena dalam
kondisi kaya bahan bakar sehingga gradien konsentrasi bahan bakar cukup besar
sehingga bahan bakar bergerak untuk berdifusi dengan udara untuk bereaksi.
Warna api hampir seluruhnya mulai pangkal hingga ujung api berwarna kuning.
Kemudian
apabila vf
dinaikkan, maka bola api menghilang dan terlihat pangkal api
berwarna biru. Warna biru pada pangkal api pada posisi ini mempunyai ukuran
terpanjang dibandingkan dengan kedua posisi yang lain. Sedangkan badan dan
ujung api tetap didominasi oleh warna kuning keputihan. Saat vf dinaikkan
lagi, api mengalami lift, yaitu pangkal api terlepas dari ujung burner
bahan bakar. Sama dengan kondisi-kondisi yang lain, struktur api pada saat lift
ini mempunyai struktur yang lebih turbulen dibandingkan saat stabil.
Hasil
Diagram Stabilitas Api Difusi
Untuk
menjelaskan dan menggambarkan kondisi kestabilan api pada penelitian ini dibuat
suatu diagram kestabilan api dari data yang di dapat, yang menerangkan hubungan
antara kecepatan udara primer vp dan kecepatan bahan bakar vf masing-masing
pada Case A, Case B, dan Case C. Dari tiap-tiap diagram kestabilan tersebut,
didapatkan daerah-daerah kestabilan api difusi yang meliputi daerah api stabil,
daerah api lift off, dan daerah api blow out. Masing-masing
daerah tersebut dibatasi oleh garis tepat saat api mengalami kondisi lift
off dan saat api padam (blow out).
a.
Case A
Gambar
2 menunjukkan diagram kestabilan api untuk Case A. Pada Us = 3 m/s, lift off
terjadi pada vf 6 m/s. Sedangkan titik dimana api padam (blow out)
api mulai padam pada vp 1,7 m/s dan vf = 11 m/s.
b.
Case B
Gambar
3, 4, dan 5 menggambarkan diagram kestabilan api untuk Case B. Pada Case B ini,
kondisi lift off lebih cepat tercapai bila dibandingkan dengan Case A.
Dapat dilihat di gambar bahwa lift off rata-rata terjadi pada kecepatan
bahan bakar sekitar 4 m/s hingga 1 m/s. Sedangkan untuk kecepatan udara primer
pada Gambar 3 sekitar 0,7 hingga 1 m/s, kemudian pada Gambar 4 sekitar 0,7
hingga 1,5 m/s, dan pada Gambar 5 sekitar 0,7 hingga 1. Lift off pada
posisi ini lebih cepat terjadi dengan vp dan vf yang
cukup rendah.
Pada
saat posisi lift off tercapai, kecepatan bahan bakar dinaikkan terus
hingga tercapai kondisi blow out. Blow out pada Case B ini
terjadi pada vf yang cukup tinggi yaitu sebesar 12 m/s. Dengan kata lain
bahwa kondisi lift off pada posisi ini berada pada daerah yang paling
luas. Pada kecepatan vp di atas 1,5 m/s, begitu api dinyalakan, posisinya pun
sudah lift, dengan kecepatan bahan bakar untuk blow out awal
tinggi, yaitu sekitar 12 m/s.
Pada
posisi ujung nosel seperti ini, meskipun lift off lebih cepat terjadi
dengan vp dan
vf yang
rendah, tetapi blow out terjadi pada vp dan vf yang
cukup tinggi, yang artinya lift off berlangsung cukup lama.
c.
Case C
Gambar
6, 7, dan 8 menggambarkan diagram kestabilan api untuk Case C. Secara umum,
gambar pada Case C ini mempunyai daerah kestabilan yang paling tinggi yang
terlihat bahwa lift off rata-rata terjadi pada vf = 12
m/s yang merupakan kecepatan bahan bakar tertinggi dibandingkan Case A dan Case
B. Pada Gambar 6, lift off terjadi pada vp = 0,7 m/s sedangkan
pada Gambar 7, lift off terjadi pada vp = 1 m/s dan pada Gambar 8, lift
off terjadi pada vp = 0,7 m/s. Pada gambar-gambar Case C ini, kondisi lift
off dan blow outnya terjadi dalam jarak yang dekat, yang artinya
saat kondisi api lift, api sudah berada dalam keadaan yang sangat tidak
stabil.
Pembahasan
Api
pada Case A mempunyai bentuk api menyerupai kerucut (cone) terbalik seperti
terlihat pada Gambar 9. Struktur apinya pun relatif teratur tanpa banyak
mengalami flicker. Diperkirakan pada kondisi ini aliran antara bahan
bakar, udara primer, dan udara sekunder terjadi secara seimbang artinya tidak
ada gangguan aliran seperti adanya gaya apung yang mengganggu nyala api. Aliran
bahan bakar, udara primer, dan udara sekunder berlangsung simultan tanpa adanya
resirkulasi aliran balik baik dari bahan bakar, udara primer maupun udara
sekunder.
Hal
ini berbeda dengan Case B, seperti terlihat pada Gambar 10 yang pada vf dan vp rendah
mempunyai kecenderungan bentuk api yang menyerupai bunga, bahkan lidah apinya
cenderung masuk ke dalam saluran pipa udara primer. Kondisi api yang demikian
ini disebabkan oleh percampuran bahan bakar dan udara primer sebelum bereaksi
dengan udara sekunder berada dalam satu zona, yaitu di daerah ujung udara
primer di sekeliling burner, sehingga ada suatu wilayah dimana bahan
bakar dan udara bercampur dengan baik.
Pada
Case C, api cenderung mempunyai bentuk bola api pada pangkal apinya, seperti
terlihat pada Gambar 11. Fenomena ini telah diteliti oleh Vranos, yaitu ada
suatu fenomena lift off yang terjadi pada api yang dibentuk di ujung
nosel dengan kecepatan udara yang tinggi dan kecepatan bahan bakar yang rendah.
Hal ini diperkirakan terjadi karena adanya zona resirkulasi yang terbentuk pada
suatu wilayah sekitar ujung nosel bahan bakar dimana reaksi pembakaran pada
daerah nosel ini merupakan wilayah atau daerah pembakaran yang paling baik,
sehingga pada zona resirkulasi tersebut menimbulkan bulatan api yang bentuknya
menyerupai bola. Zona resirkulasi ini dapat terbentuk karena adanya difusi
bahan bakar dengan udara primer yang terjadi pada daerah sekitar ujung saluran
bahan bakar.
Pada
penelitian ini, lift didefinisikan adanya daerah dimana terjadi
pelepasan pangkal api dari ujung pipa bahan bakar akibat dari ketidakseimbangan
kecepatan aliran bahan bakar dan udara baik itu udara primer maupun udara
sekunder. Dari visualisasi yang telah dilakukan, seperti terlihat pada Gambar
12, saat kondisi lift, struktur api secara umum lebih turbulen
dibandingkan dengan kondisi saat stabil. Hal ini dikarenakan kenaikan kecepatan
aliran bahan bakar, sehingga menyebabkan angka Re yang lebih tinggi yang tentu
saja membuat api menjadi lebih turbulen.
Pada
Case A, dengan bentuk api seperti kerucut dan dengan kontour aliran teratur stabil,
fenomena lift yang terjadi pada kondisi ini sama dengan lift yang
diteliti oleh Takahashi (1990), yaitu teori lift-nya yang pertama yang
menyatakan bahwa lift dikendalikan oleh pangkal api akibat dari
ketidakseimbangan antara kecepatan aliran gas dan kecepatan penyalaan api serta
adanya gangguan aliran dalam pipa. Pada penelitian ini, lift terjadi
karena ketebalan pipa bahan bakar yang tipis. Mekanisme lift ini
didasarkan pada ketidakseimbangan antara kecepatan aliran bahan bakar pada
pangkal api dan kecepatan penyalaan dalam proses percampuran antara aliran jet
bahan bakar dan fluida pengoksidasi. Hal ini karena pada dasarnya api mempunyai
perilaku untuk tetap bertahan laminer sehingga dengan peningkatan kecepatan
bahan bakar yang tinggi, pangkal api tetap bertahan untuk laminer. Kemudian
dengan hilangnya keseimbangan pada proses percampurannya, api bergerak naik
dengan pangkal api bertahan untuk laminer meskipun sangat kecil sehingga
bentuknya menyerupai cincin yang terus bergerak ke atas hingga api blow out (padam).
Pada
Case B, lift lebih cepat terjadi karena bahan bakar bercampur dengan
udara primer terlebih dahulu secara difusi dalam saluran udara primer sehingga
api yang keluar kemudian direaksikan lagi secara difusi juga dengan udara
sekunder. Oleh karena itu dengan penambahan udara primer secara bertahap api
lebih cepat mengalami lift karena konsentrasi udara yang tinggi pada
ujung pipa sehingga api lebih cepat lift. Saat lift tercapai,
seiring dengan penambahan kecepatan bahan bakar, api dalam kondisi lift yang
stabil bahkan pada kecepatan udara primer yang rendah, saat kecepatan bahan
bakar dinaikkan api bukannya blow out tetapi malah semakin membesar.
Apabila dibandingkan dengan kedua Case yang lain, api pada posisi ini mempunyai
bentuk dan panjang api terpendek. Hal ini karena besarnya konsentrasi udara
yang bereaksi dengan bahan bakar sehingga selain menyempurnakan pembakaran,
udara disini juga memperpendek ukuran api.
Pada Case C, lift relatif lebih lama tercapai. Fenomena lift
disini terjadi pada api yang dibentuk di ujung nosel dengan kecepatan udara
yang tinggi dan kecepatan bahan bakar yang rendah. Hal ini terjadi karena
adanya zona resirkulasi yang terbentuk pada wilayah sekitar ujung pipa bahan
bakar dimana reaksi pembakaran pada daerah nosel ini merupakan wilayah atau
daerah pembakaran yang paling baik, sehingga lift disini disebabkan oleh
peningkatan kecepatan bahan bakar yang tinggi sehingga semburannya menembus dan
memecah daerah resirkulasi yang kemudian dengan cepat memberhentikan reaksi,
sehingga api lebih cepat padam. Kondisi ini mempunyai reaksi dengan dengan
proses percampuran terbaik yang dibuktikan dengan luasnya daerah kestabilan.
Tetapi apabila kondisi lift tercapai, api akan dengan mudah padam. Untuk
vp tinggi
dan vf rendah,
api mengalami blow out dangan sangat cepat karena kondisi api lift ini
dicapai oleh pangkal aliran karena menurunnya densitas fluida yang berlebihan
pada bahan bakar oleh udara primer dan udara sekunder sehingga menyebabkan
gangguan pada api. Dengan gangguan ini api menjadi tidak stabil, dan akhirnya
padam.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini didapatkan kesimpulan bahwa daerah kestabilan
terbesar terletak pada posisi nosel di atas posisi saluran udara primer. Tetapi
pada saat api mulai lift off, kondisi api sangat tidak stabil bahkan
cenderung langsung padam sedangkan daerah kestabilan terkecil terletak pada
posisi nosel di bawah posisi saluran udara primer. Tetapi pada saat api mulai lift
off, kondisi api masih dalam kondisi lift yang stabil dan blow
out terjadi dalam jarak dan waktu yang paling lama. Dari visualisasi
diketahui bahwa saat lift, intensitas turbulensi meningkat sehingga api
menjadi lebih turbulen dengan pangkal tetap bertahan laminar.
No comments:
Post a Comment