Wednesday 30 December 2015

Arsitektur digital bukan hanya tentang menggambar

ARSITEKTUR DIGITAL: BUKAN HANYA TENTANG MENGGAMBAR. Perkembangan teknologi informasi dan komputer dewasa ini telah telah menawarkan potensi tak terbatas untuk membantu proses desain arsitektural. Di Indonesia pemanfaatan teknologi komputer dalam proses desain tidak secepat potensi yang ditawarkan, bahkan cenderung terbatas untuk untuk tugas tulis dan grafis. Penekanan berlebihan pada grafis menyebabkan diabaikannya aspek-aspek arsitektural lainnya. Untuk itu, melalui pendekatan kontekstual, perlu segera disosialisasikan pemanfaatan program komputer secara lebih bervariasi dan terpadu, sesuai kurikulum baru berbasis kompetensi.
Kata Kunci: Aplikasi komputer, desain arsitektur.

PENDAHULUAN
Persaingan dibidang desain arsitektur di dunia saat ini semakin ketat. Di Indonesia, para arsitek tidak saja harus saling bersaing dengan rekan senegaranya, namun, dengan dimulainya era perdagangan bebas, mereka juga harus bersaing dengan para arsitek dari negara maju bermetoda pendidikan lanjut. Dengan demikian tidak ada jalan lain bagi pendidikan arsitektur di Indonesia selain memperbarui metoda belajar dan mengajarnya - terutama aspek teknologi - yang masih konvensional dan primitif.
Teknologi informasi dan komputer dewasa ini menawarkan
jalan pintas untuk memperbaiki metoda pendidikan arsitektur agar lulusan sekolah arsitektur memiliki kemampuan desain arsitektural yang sama, atau bahkan lebih baik, dari lulusan negara maju. Proses desain dengan bantuan komputer disebut, dan mulai populer, dengan istilah arsitektur digital.1 Tulang punggung arsitektur digital adalah laboratorium komputer yang berkonfigurasi sesuai dengan kebutuhan desain arsitektural, disebut dengan laboratorium maya (virtual laboratory).2 Namun, kenyataan saat ini memberikan indikasi bahwa pemanfaatan potensi komputer untuk pengembangan laboratorium maya masih mengandung dilema.
Di Indonesia, sebagaimana negara-negara lain dunia ketiga, sangatlah mudah ditemui bangunan baru dengan rancangan teknologi arsitektural buruk. Bangunan-bangunan tersebut biasanya memiliki tata akustik, pencahayaan (buatan dan alami) serta penghawaan (buatan dan alami) yang buruk dan mencerminkan kekurang-pahaman para arsitek pembuatnya tentang bidang teknologi arsitektural. Dari struktur organisasi proyek, terlihat bahwa para insinyur terkait telah dilibatkan dalam proses desain, tetapi ada indikasi bahwa mereka sering gagal berkomunikasi dengan para arsitek secara lancar karena para arsitek tidak memiliki pemahaman yang cukup dalam bidang-bidang tersebut. Kondisi ini menjadi bertambah buruk karena banyak arsitek yang cenderung berpikir bahwa pertimbangan estetika adalah segala-galanya. Namun, sebenarnya gejala ini dapat ditelusuri kembali pada kualitas pendidikan arsitektur di Indonesia. Arsitektur digital dapat menjadi metode yang efektif dan efisien untuk memperbaiki proses belajar dan mengajar arsitektur (Satwiko, 2001).
Saat ini kurikulum nasional arsitektur Indonesia mengalokasikan 40% dari bobotnya untuk matakuliah yang berhubungan dengan teknologi arsitektural. Ini sebenarnya dekat dengan rekomendasi dari Accreditation Board of Engineering Technology (ABET) yang mengalokasikan 35%. Dengan demikian ada harapan bahwa lulusan sekolah arsitektur Indonesia cukup mampu bersaing diera perdagangan bebas masa depan. Salah satu isu penting dalam perkembangan desain arsitektural adalah kemungkinan tergesernya peran arsitek oleh komputer; komputer masa depan akan berubah dari sekadar alat menjadi pendesain sesuai dengan penerapan artificial intelligent yang semakin canggih (Laiserin, 2001). Pendorong kuat perbaikan kurikulum adalah SK Mendiknas No.232/U/2000&No.045/U/2002 serta SK Dikti No.38/DIKTI/Kep/2002 tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi yang memberikan banyak keleluasaan bagi setiap institusi untuk merancang sedemikian rupa kurikulumnya agar lulusannya memiliki kompetensi dalam bidang yang dipelajarinya. Bagi pendidikan arsitektur kurikulum berbasis teknologi informasi dan komputer tidak dapat dihindari lagi.

PERMASALAHAN PEMANFAATAN KOMPUTER PADA PROSES DESAIN ARSITEKTUR
Penelitian yang dilakukan oleh Satwiko dkk.(Satwiko, Leksono; 2001) terhadap 450 mahasiswa di lima program studi arsitektur di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2000 menemukan fakta bahwa hanya 7.0% dari mereka yang belum pernah bersinggungan dengan komputer. Sebanyak 32.9% mahasiswa telah memakai komputer lebih dari empat tahun, 72.6% menggunakan komputer dirumah, dan 22.7% menggunakannya setiap hari. Diantara mereka yang belum pernah memakai komputer, 47.1% telah merencanakan untuk membelinya.
Teknologi informasi, Internet, belum dimanfaatkan dengan baik. Dari penelitian yang sama, ditemukan pula bahwa 20.9% mahasiswa belum pernah memakai Internet. Penggunaan komputer paling banyak adalah untuk menulis. Program yang paling banyak dipakai adalah MSOffice (MSWord, MSExel, MSPowerpoint). Penggunaan komputer untuk proses desain arsitektur belum banyak dipakai. AutoCAD paling banyak dipakai, sedangkan untuk grafis CoreDRAW paling banyak dipakai.
Survai yang dilakukan oleh Satwiko3 pada tahun 2001 terhadap mahasiswa arsitektur di DIY menemukan fakta bahwa 91.5% dari mereka mendukung ide menjadikan sekolah mereka, Strata 1, berbasis komputer. Bahkan sebanyak 96.1% mahasiswa menyatakan tertarik pada program Strata 2 Desain Arsitektur yang berbasis Teknologi Informasi dan Komputer, walau disertai dengan berbagai syarat. Syarat terbanyak, dikemukakan oleh 26.1% mahasiswa, adalah: bila programnya memang menarik dan beayanya terjangkau.
Beberapa data diatas memberikan gambaran sepintas tentang minat besar mahasiswa arsitektur terhadap teknologi informasi dan komputer. Walau sebagian besar (66.1%) memanfaatkan komputer untuk entertainment, bagaimana pun keadaan tersebut menjadi dasar yang baik untuk mengenalkan program pemakaian komputer yang lebih serius karena menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa arsitektur di DIY tidak buta komputer. Dari sedikit mereka yang skeptis, 8.5%, terungkap adanya keengganan menjadi terjajah oleh teknologi tinggi dan perasaan masih mencintai hal-hal yang bersifat konvensional, tradisional.
Kendala untuk memperluas pemanfaatan komputer dalam proses desain pada umumnya dikarenakan masalah latarbelakang pendidikan arsitektur, harga software khusus yang mahal, serta kendala bahasa. Diakui atau tidak saat ini pemakai komputer di Indonesia diuntungkan dengan bisnis perangkat lunak ilegal. Software ilegal yang tersedia dipasaran umumnya adalah software populer seperti untuk grafis. Perangkat lunak khusus (untuk perhitungan energi bangunan misalnya) sulit atau bahkan tidak ditemui dilapak penjual program bajakan. Namun sebenarnya ini tidak harus menjadi masalah karena banyak program bagus yang dapat didownload dari Internet secara gratis berdasar suatu misi tertentu (seperti kampanye gedung hemat energi yang dilakukan oleh Department of Energy – United States of America)

PERKEMBANGAN ARSITEKTUR DIGITAL DI INDONESIA
Masa depan perkembangan arsitektur digital di Indonesia sangat cerah walau terlihat masih dalam arah yang sempit. Diprogram studi – program studi arsitektur, terutama di kota-kota besar, telah diajarkan komputer untuk menggambar baik dalam pengertian gambar teknis maupun presentasi. Dunia industri jasa konsultasi arsitektur pun mulai mensyaratkan kemampuan pengoperasian program gambar, animasi dan grafis (dalam hal ini umumnya autoCAD, 3D Max, CorelDraw dan Photoshop) dalam merekrut staf baru.4 Jelas terlihat bahwa pengertian desain arsitektur yang lekat dengan dunia gambar-menggambar terekspresikan langsung dalam pemanfaatan komputer untuk mendesain.
Kecenderungan pemakaian komputer dalam desain arsitektur hanya untuk grafis sebenarnya sangat keliru dan merugikan karena komputer menawarkan kemampuan lebih dari itu. Hal-hal buruk yang timbul:
• Kemudahan, kecepatan, serta kekayaan efek grafis program komputer akan membius pemakainya sehingga semakin melupakan bahwa desain arsitektur bukan hanya tentang estetika visual. Gejala perlawanan dari sikap tadi timbul dalam ujud, salah satunya, sinisme terhadap pemakaian komputer grafis. Presentasi grafis menjadi berlebihan (tidak wajar) karena mudahnya menggambar dengan bantuan komputer.
• Kemudahan yang ditawarkan oleh komputer dalam grafis menggoda penggunanya untuk meninggalkan samasekali sketsa manual. Bila ini terjadi pada mahasiswa arsitektur tentu sedikit banyak memberikan dampak kurang baik.
• Para desainer arsitektural tidak berusaha mengembangkan kemampuannya untuk memanfaatkan komputer bagi elemen-elemen desain yang lain (misalnya untuk simulasi environmental bangunan) sehingga akan terjadi jurang yang semakin lebar antara cita rasa estetika arsitektural dengan kebenaran teknisnya (seperti yang ditakutkan saat ini dimana banyak bangunan yang secara estetis menonjol namun secara ilmu bangunan sangat buruk).

OPTIMASI PEMAKAIAN KOMPUTER UNTUK DESAIN ARSITEKTUR
Komputer dapat sangat berperan membantu kerja arsitek. Bahkan sebenarnya sejak tahapan menyiapkan dokumen (sekedar memakai komputer sebagai alat tulis), komputer sudah dapat dimanfaatkan untuk membangun citra arsitek terhadap kliennya. Pemproses kata umum (seperti MSWord) menawarkan begitu banyak kemampuan untuk membuat dokumen yang menarik. Bila kurang lengkap, program tersebut dapat berkomunikasi dengan program lain (seperti Photoshop). Namun, hingga saat ini kemampuan tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal; mungkin hanya 10% saja kemampuan program yang dipakai.
Bila dibuat garis besar, kerja arsitek akan melibatkan aktivitas sebagai berikut (bukan merupakan urutan baku):
• Komunikasi (surat menyurat, konsultasi, baik tertulis maupun tergambar dengan sarana manual maupun electronic mail)
• Pencarian Data (iklim, topografi, jaringan transportasi, jaringan utilitas, sebaran penduduk, peraturan daerah, produk bahan, hasil penelitian terbaru, dll.)
• Pembuatan Sketsa Awal (gagasan awal untuk diskusi dengan klien maupun tim perencana baik secara 2D, 3D, animasi maupun virtual reality)
• Perhitungan-perhitungan (konstruksi, beaya, fisika bangunan, utilitas, energi, pencemaran)
• Pengembangan Desain (menuju ke karya desain yang lebih terpadu dalam bentuk animasi maupun virtual reality yang dapat dilakukan secara manual maupun otomatis dengan teknik morphing)
• Pengenalan Pemanfaatan Teknologi Baru dalam Bangunan (solar energy, intelligent./smart buildings)
• Presentasi (penyajian produk desain akhir)
• Pembuatan Gambar Kerja
• Publikasi (memasang karya desain yang menonjol di website, jurnal, majalah)
• Pengarsipan Karya Desain (menyimpan karya desain secara sistematis dan aman untuk dipergunakan di lain waktu).
Belum semua aktivitas tersebut diatas dilakukan secara efisien dan efektif. Pada umumnya, aktivitas yang melibatkan surat menyurat dan penyajian gambar (arsitektural maupun konstruksi) paling banyak dilakukan. Sedangkan aktivitas pencarian data hingga pengarsipan masih belum banyak dilakukan.
Saat ini semakin banyak artikel yang membahas dan mendorong pemanfaatan teknologi informasi dan komputer dalam proses desain. Komunikasi dengan klien, misalnya, dapat dilakukan secara efisien dan efektif dengan bantuan Internet sehingga tidak terkendala oleh waktu dan jarak. Sedangkan komunikasi antar tim perencana dapat dilakukan dengan fasilitas jaringan lokal (Local Area Network) yang memungkinkan arsitek bekerjasama dari komputer masing-masing (salah satunya adalah program Archicad).
Namun, komunikasi elektronik selain memberikan banyak harapan kemudahan, juga membawa banyak dampak negatif yang masih harus diwaspadai, salah satunya adalah masalah hukum dan keamanan (Joch, 2002). Budaya baru perlu dikembangkan karena teknologi digital yang mempermudah hidup dapat berubah menjadi bencana; misalnya, data penting hancur dalam sekali tekan tombol dan tidak dapat diperoleh kembali karena manajemen data (backup) tidak baik, atau pemakai tidak tahu cara merecover data.
Karya arsitektur akan lebih bertanggungjawab bila sesuai dengan konteksnya, baik konteks fisik maupun non-fisik. Mengantisipasi dampak hadirnya sebuah bangunan terhadap kota, misalnya, dapat dilakukan dengan program geographic information system (GIS). Program yang memberikan informasi lokasi geografis (atau koordinat tertentu) ini akan membantu proses keberhasilan sustainable design dengan memberikan arsitek pandangan yang lebih luas tentang dunia dimana bangunan berada sehingga dampak lingkungannya dapat dipehitungkan (McGarigle, 2002). Banyak tersedia software yang akan membantu mewujudkan gagasan environmentally friendly architecture, beberapa diantaranya dapat diperoleh secara cuma-cuma (Wijaksono, 2002). Beberapa software mulai diarahkan menjadi perangkat lunak terpadu yang menggabungkan antara kemampuan olah grafis dan analisis perilaku environmentalnya (seperti yang dikerjakan oleh Autodesk dengan AutoCAD dan Lightscapenya). Program-program kecil yang diberikan secara gratis oleh RETScreen International (http://www.retscreen.net/), misalnya, memberikan akses ke data satelit NASA melalui Internet sehingga kita dapat memperoleh data iklim dari seluruh penjuru dunia.

BEBERAPA CONTOH PEMANFAATAN ARSITEKTUR DIGITAL DALAM PROSES DESAIN ARSITEKTUR
Di Program Studi Arsitektur – Universitas Atma Jaya Yogyakarta telah dimulai pemanfaatan program komputer dari sekedar alat gambar menjadi alat desain. Pelaksanaan dimulai dari kelompok kecil, yaitu oleh dua peserta Tugas Akhir dibawah bimbingan P. Satwiko, dan penelitian (dibeayai oleh Domestic Collaborative Research Grant – University Research for Graduate Education) yang juga dipimpin oleh P. Satwiko.
Kedua mahasiswa mencoba memakai komputer untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan konsep filosofi yang mereka inginkan. Satu mahasiswa mengembangkan bentuk massa sebuah bangunan Jogjakarta Cyber Center agar sesuai dengan tapak. Mahasiswa yang lain mempelajari efek cahaya alami untuk menyinari ruang-ruang pada Museum Digantaranya sehingga diperoleh cahaya dengan warna tertentu pada jam tertentu yang mengekspresikan perjalanan sejarah TNI-AU. Kesulitan lebih banyak dialami karena belum adanya referensi yang cukup lengkap untuk melakukan proses desain dengan cara tersebut (kedua mahasiswa menjadi pioneer dalam metoda pendekatan desain ini). Kurang mendalamnya pengetahuan tentang fisika bangunan juga andil dalam memberi keragu-raguan apakah bentuk-bentuk yang diperoleh sesuai dengan iklim tropis lembab.
Satwiko dan Leksono mengembangkan bentuk bangunan sederhana dengan bantuan program Computation Fluid Dynamic. Bentuk rumah yang dihasilkan dapat mengeskplorasi efek aerodinamis dan termal bentuk bangunan dan materialnya sehingga mendorong terjadinya vertical ventilation yang merata pada seluruh sudut rumah. Walau terlihat bentuk atap aneh, namun simulasi komputer mengklarifikasi adanya pergerakan ventilasi tersebut. Kemudian, dari hasil komputer dibuat bentuk nyata yang ternyata menunjukkan bahwa apa yang disimulasikan oleh komputer (virtual) benar-benar terjadi dalam dunia nyata (real world).

PENUTUP
Sudah saatnya sekolah-sekolah arsitektur dan para arsitek menggunakan teknologi informasi dan komputer secara lebih efektif dan efisien (Satwiko, 2000). Perangkat lunak dan keras komputer yang tersedia saat ini sudah lebih dari cukup untuk membuat desain tidak saja indah tetapi dapat dipertanggungjawabkan secara teknis. Mengingat bahwa Indonesia terletak di iklim tropis lembab dan umumnya software dikembangkan oleh negara maju beriklim empat musim, maka penyesuaian-penyesuaian diperlukan. Salah satu cara terbaik untuk menyesuaikan adalah dengan memakai software yang ada dan mengklaribasikan sesuai iklim lokal. Itu hanya dapat dilakukan bila arsitek (dosen, peneliti, praktisi) dan calon arsitek mau belajar lagi dan menjadi orang yang sungguh berkompeten pada desain arsitektur.
Tabel 1 Contoh-contoh pemakaian program komputer dalam proses penemuan bentuk arsitektural

No comments:

Post a Comment