ARSITEKTUR
DIGITAL: BUKAN HANYA TENTANG MENGGAMBAR. Perkembangan
teknologi informasi dan komputer dewasa ini telah telah menawarkan potensi tak
terbatas untuk membantu proses desain arsitektural. Di Indonesia pemanfaatan
teknologi komputer dalam proses desain tidak secepat potensi yang ditawarkan,
bahkan cenderung terbatas untuk untuk tugas tulis dan grafis. Penekanan
berlebihan pada grafis menyebabkan diabaikannya aspek-aspek arsitektural
lainnya. Untuk itu, melalui pendekatan kontekstual, perlu segera
disosialisasikan pemanfaatan program komputer secara lebih bervariasi dan
terpadu, sesuai kurikulum baru berbasis kompetensi.
Kata Kunci:
Aplikasi komputer, desain arsitektur.
PENDAHULUAN
Persaingan
dibidang desain arsitektur di dunia saat ini semakin ketat. Di Indonesia, para
arsitek tidak saja harus saling bersaing dengan rekan senegaranya, namun,
dengan dimulainya era perdagangan bebas, mereka juga harus bersaing dengan para
arsitek dari negara maju bermetoda pendidikan lanjut. Dengan demikian tidak ada
jalan lain bagi pendidikan arsitektur di Indonesia selain memperbarui metoda
belajar dan mengajarnya - terutama aspek teknologi - yang masih konvensional
dan primitif.
Teknologi
informasi dan komputer dewasa ini menawarkan
jalan pintas untuk memperbaiki metoda pendidikan arsitektur agar lulusan sekolah arsitektur memiliki kemampuan desain arsitektural yang sama, atau bahkan lebih baik, dari lulusan negara maju. Proses desain dengan bantuan komputer disebut, dan mulai populer, dengan istilah arsitektur digital.1 Tulang punggung arsitektur digital adalah laboratorium komputer yang berkonfigurasi sesuai dengan kebutuhan desain arsitektural, disebut dengan laboratorium maya (virtual laboratory).2 Namun, kenyataan saat ini memberikan indikasi bahwa pemanfaatan potensi komputer untuk pengembangan laboratorium maya masih mengandung dilema.
jalan pintas untuk memperbaiki metoda pendidikan arsitektur agar lulusan sekolah arsitektur memiliki kemampuan desain arsitektural yang sama, atau bahkan lebih baik, dari lulusan negara maju. Proses desain dengan bantuan komputer disebut, dan mulai populer, dengan istilah arsitektur digital.1 Tulang punggung arsitektur digital adalah laboratorium komputer yang berkonfigurasi sesuai dengan kebutuhan desain arsitektural, disebut dengan laboratorium maya (virtual laboratory).2 Namun, kenyataan saat ini memberikan indikasi bahwa pemanfaatan potensi komputer untuk pengembangan laboratorium maya masih mengandung dilema.
Di
Indonesia, sebagaimana negara-negara lain dunia ketiga, sangatlah mudah ditemui
bangunan baru dengan rancangan teknologi arsitektural buruk. Bangunan-bangunan
tersebut biasanya memiliki tata akustik, pencahayaan (buatan dan alami) serta
penghawaan (buatan dan alami) yang buruk dan mencerminkan kekurang-pahaman para
arsitek pembuatnya tentang bidang teknologi arsitektural. Dari struktur
organisasi proyek, terlihat bahwa para insinyur terkait telah dilibatkan dalam
proses desain, tetapi ada indikasi bahwa mereka sering gagal berkomunikasi
dengan para arsitek secara lancar karena para arsitek tidak memiliki pemahaman
yang cukup dalam bidang-bidang tersebut. Kondisi ini menjadi bertambah buruk
karena banyak arsitek yang cenderung berpikir bahwa pertimbangan estetika
adalah segala-galanya. Namun, sebenarnya gejala ini dapat ditelusuri kembali
pada kualitas pendidikan arsitektur di Indonesia. Arsitektur digital dapat
menjadi metode yang efektif dan efisien untuk memperbaiki proses belajar dan
mengajar arsitektur (Satwiko, 2001).
Saat
ini kurikulum nasional arsitektur Indonesia mengalokasikan 40% dari bobotnya
untuk matakuliah yang berhubungan dengan teknologi arsitektural. Ini sebenarnya
dekat dengan rekomendasi dari Accreditation Board of Engineering Technology
(ABET) yang mengalokasikan 35%. Dengan demikian ada harapan bahwa lulusan
sekolah arsitektur Indonesia cukup mampu bersaing diera perdagangan bebas masa
depan. Salah satu isu penting dalam perkembangan desain arsitektural adalah
kemungkinan tergesernya peran arsitek oleh komputer; komputer masa depan akan
berubah dari sekadar alat menjadi pendesain sesuai dengan penerapan artificial
intelligent yang semakin canggih (Laiserin, 2001). Pendorong kuat perbaikan
kurikulum adalah SK Mendiknas No.232/U/2000&No.045/U/2002 serta SK Dikti
No.38/DIKTI/Kep/2002 tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi yang memberikan
banyak keleluasaan bagi setiap institusi untuk merancang sedemikian rupa kurikulumnya
agar lulusannya memiliki kompetensi dalam bidang yang dipelajarinya. Bagi
pendidikan arsitektur kurikulum berbasis teknologi informasi dan komputer tidak
dapat dihindari lagi.
PERMASALAHAN
PEMANFAATAN KOMPUTER PADA PROSES DESAIN ARSITEKTUR
Penelitian
yang dilakukan oleh Satwiko dkk.(Satwiko, Leksono; 2001) terhadap 450 mahasiswa
di lima program studi arsitektur di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun
2000 menemukan fakta bahwa hanya 7.0% dari mereka yang belum pernah
bersinggungan dengan komputer. Sebanyak 32.9% mahasiswa telah memakai komputer
lebih dari empat tahun, 72.6% menggunakan komputer dirumah, dan 22.7%
menggunakannya setiap hari. Diantara mereka yang belum pernah memakai komputer,
47.1% telah merencanakan untuk membelinya.
Teknologi
informasi, Internet, belum dimanfaatkan dengan baik. Dari penelitian yang sama,
ditemukan pula bahwa 20.9% mahasiswa belum pernah memakai Internet. Penggunaan
komputer paling banyak adalah untuk menulis. Program yang paling banyak dipakai
adalah MSOffice (MSWord, MSExel, MSPowerpoint). Penggunaan komputer untuk
proses desain arsitektur belum banyak dipakai. AutoCAD paling banyak dipakai,
sedangkan untuk grafis CoreDRAW paling banyak dipakai.
Survai
yang dilakukan oleh Satwiko3 pada tahun 2001 terhadap mahasiswa arsitektur di
DIY menemukan fakta bahwa 91.5% dari mereka mendukung ide menjadikan sekolah
mereka, Strata 1, berbasis komputer. Bahkan sebanyak 96.1% mahasiswa menyatakan
tertarik pada program Strata 2 Desain Arsitektur yang berbasis Teknologi Informasi
dan Komputer, walau disertai dengan berbagai syarat. Syarat terbanyak,
dikemukakan oleh 26.1% mahasiswa, adalah: bila programnya memang menarik dan
beayanya terjangkau.
Beberapa
data diatas memberikan gambaran sepintas tentang minat besar mahasiswa
arsitektur terhadap teknologi informasi dan komputer. Walau sebagian besar
(66.1%) memanfaatkan komputer untuk entertainment, bagaimana pun keadaan
tersebut menjadi dasar yang baik untuk mengenalkan program pemakaian komputer
yang lebih serius karena menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa arsitektur
di DIY tidak buta komputer. Dari sedikit mereka yang skeptis, 8.5%, terungkap
adanya keengganan menjadi terjajah oleh teknologi tinggi dan perasaan masih
mencintai hal-hal yang bersifat konvensional, tradisional.
Kendala
untuk memperluas pemanfaatan komputer dalam proses desain pada umumnya
dikarenakan masalah latarbelakang pendidikan arsitektur, harga software khusus
yang mahal, serta kendala bahasa. Diakui atau tidak saat ini pemakai komputer
di Indonesia diuntungkan dengan bisnis perangkat lunak ilegal. Software ilegal
yang tersedia dipasaran umumnya adalah software populer seperti untuk grafis.
Perangkat lunak khusus (untuk perhitungan energi bangunan misalnya) sulit atau
bahkan tidak ditemui dilapak penjual program bajakan. Namun sebenarnya ini
tidak harus menjadi masalah karena banyak program bagus yang dapat didownload
dari Internet secara gratis berdasar suatu misi tertentu (seperti kampanye
gedung hemat energi yang dilakukan oleh Department of Energy – United States of
America)
PERKEMBANGAN
ARSITEKTUR DIGITAL DI INDONESIA
Masa
depan perkembangan arsitektur digital di Indonesia sangat cerah walau terlihat
masih dalam arah yang sempit. Diprogram studi – program studi arsitektur,
terutama di kota-kota besar, telah diajarkan komputer untuk menggambar baik
dalam pengertian gambar teknis maupun presentasi. Dunia industri jasa
konsultasi arsitektur pun mulai mensyaratkan kemampuan pengoperasian program
gambar, animasi dan grafis (dalam hal ini umumnya autoCAD, 3D Max, CorelDraw
dan Photoshop) dalam merekrut staf baru.4 Jelas terlihat bahwa pengertian
desain arsitektur yang lekat dengan dunia gambar-menggambar terekspresikan
langsung dalam pemanfaatan komputer untuk mendesain.
Kecenderungan
pemakaian komputer dalam desain arsitektur hanya untuk grafis sebenarnya sangat
keliru dan merugikan karena komputer menawarkan kemampuan lebih dari itu.
Hal-hal buruk yang timbul:
•
Kemudahan, kecepatan, serta kekayaan efek grafis program komputer akan membius
pemakainya sehingga semakin melupakan bahwa desain arsitektur bukan hanya
tentang estetika visual. Gejala perlawanan dari sikap tadi timbul dalam ujud,
salah satunya, sinisme terhadap pemakaian komputer grafis. Presentasi grafis
menjadi berlebihan (tidak wajar) karena mudahnya menggambar dengan bantuan
komputer.
•
Kemudahan yang ditawarkan oleh komputer dalam grafis menggoda penggunanya untuk
meninggalkan samasekali sketsa manual. Bila ini terjadi pada mahasiswa
arsitektur tentu sedikit banyak memberikan dampak kurang baik.
•
Para desainer arsitektural tidak berusaha mengembangkan kemampuannya untuk
memanfaatkan komputer bagi elemen-elemen desain yang lain (misalnya untuk
simulasi environmental bangunan) sehingga akan terjadi jurang yang semakin
lebar antara cita rasa estetika arsitektural dengan kebenaran teknisnya
(seperti yang ditakutkan saat ini dimana banyak bangunan yang secara estetis
menonjol namun secara ilmu bangunan sangat buruk).
OPTIMASI
PEMAKAIAN KOMPUTER UNTUK DESAIN ARSITEKTUR
Komputer
dapat sangat berperan membantu kerja arsitek. Bahkan sebenarnya sejak tahapan
menyiapkan dokumen (sekedar memakai komputer sebagai alat tulis), komputer
sudah dapat dimanfaatkan untuk membangun citra arsitek terhadap kliennya.
Pemproses kata umum (seperti MSWord) menawarkan begitu banyak kemampuan untuk
membuat dokumen yang menarik. Bila kurang lengkap, program tersebut dapat
berkomunikasi dengan program lain (seperti Photoshop). Namun, hingga saat ini
kemampuan tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal; mungkin hanya 10% saja
kemampuan program yang dipakai.
Bila
dibuat garis besar, kerja arsitek akan melibatkan aktivitas sebagai berikut
(bukan merupakan urutan baku):
•
Komunikasi (surat menyurat, konsultasi, baik tertulis maupun tergambar dengan
sarana manual maupun electronic mail)
•
Pencarian Data (iklim, topografi, jaringan transportasi, jaringan utilitas,
sebaran penduduk, peraturan daerah, produk bahan, hasil penelitian terbaru,
dll.)
•
Pembuatan Sketsa Awal (gagasan awal untuk diskusi dengan klien maupun tim perencana
baik secara 2D, 3D, animasi maupun virtual reality)
•
Perhitungan-perhitungan (konstruksi, beaya, fisika bangunan, utilitas, energi,
pencemaran)
•
Pengembangan Desain (menuju ke karya desain yang lebih terpadu dalam bentuk
animasi maupun virtual reality yang dapat dilakukan secara manual maupun
otomatis dengan teknik morphing)
•
Pengenalan Pemanfaatan Teknologi Baru dalam Bangunan (solar energy,
intelligent./smart buildings)
•
Presentasi (penyajian produk desain akhir)
•
Pembuatan Gambar Kerja
•
Publikasi (memasang karya desain yang menonjol di website, jurnal, majalah)
•
Pengarsipan Karya Desain (menyimpan karya desain secara sistematis dan aman
untuk dipergunakan di lain waktu).
Belum
semua aktivitas tersebut diatas dilakukan secara efisien dan efektif. Pada
umumnya, aktivitas yang melibatkan surat menyurat dan penyajian gambar
(arsitektural maupun konstruksi) paling banyak dilakukan. Sedangkan aktivitas
pencarian data hingga pengarsipan masih belum banyak dilakukan.
Saat
ini semakin banyak artikel yang membahas dan mendorong pemanfaatan teknologi
informasi dan komputer dalam proses desain. Komunikasi dengan klien, misalnya,
dapat dilakukan secara efisien dan efektif dengan bantuan Internet sehingga
tidak terkendala oleh waktu dan jarak. Sedangkan komunikasi antar tim perencana
dapat dilakukan dengan fasilitas jaringan lokal (Local Area Network) yang
memungkinkan arsitek bekerjasama dari komputer masing-masing (salah satunya
adalah program Archicad).
Namun,
komunikasi elektronik selain memberikan banyak harapan kemudahan, juga membawa
banyak dampak negatif yang masih harus diwaspadai, salah satunya adalah masalah
hukum dan keamanan (Joch, 2002). Budaya baru perlu dikembangkan karena
teknologi digital yang mempermudah hidup dapat berubah menjadi bencana; misalnya,
data penting hancur dalam sekali tekan tombol dan tidak dapat diperoleh kembali
karena manajemen data (backup) tidak baik, atau pemakai tidak tahu cara
merecover data.
Karya
arsitektur akan lebih bertanggungjawab bila sesuai dengan konteksnya, baik
konteks fisik maupun non-fisik. Mengantisipasi dampak hadirnya sebuah bangunan
terhadap kota, misalnya, dapat dilakukan dengan program geographic information
system (GIS). Program yang memberikan informasi lokasi geografis (atau
koordinat tertentu) ini akan membantu proses keberhasilan sustainable design
dengan memberikan arsitek pandangan yang lebih luas tentang dunia dimana
bangunan berada sehingga dampak lingkungannya dapat dipehitungkan (McGarigle,
2002). Banyak tersedia software yang akan membantu mewujudkan gagasan
environmentally friendly architecture, beberapa diantaranya dapat diperoleh
secara cuma-cuma (Wijaksono, 2002). Beberapa software mulai diarahkan menjadi
perangkat lunak terpadu yang menggabungkan antara kemampuan olah grafis dan
analisis perilaku environmentalnya (seperti yang dikerjakan oleh Autodesk
dengan AutoCAD dan Lightscapenya). Program-program kecil yang diberikan secara
gratis oleh RETScreen International (http://www.retscreen.net/), misalnya,
memberikan akses ke data satelit NASA melalui Internet sehingga kita dapat
memperoleh data iklim dari seluruh penjuru dunia.
BEBERAPA CONTOH
PEMANFAATAN ARSITEKTUR DIGITAL DALAM PROSES DESAIN ARSITEKTUR
Di
Program Studi Arsitektur – Universitas Atma Jaya Yogyakarta telah dimulai
pemanfaatan program komputer dari sekedar alat gambar menjadi alat desain.
Pelaksanaan dimulai dari kelompok kecil, yaitu oleh dua peserta Tugas Akhir
dibawah bimbingan P. Satwiko, dan penelitian (dibeayai oleh Domestic
Collaborative Research Grant – University Research for Graduate Education) yang
juga dipimpin oleh P. Satwiko.
Kedua
mahasiswa mencoba memakai komputer untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan
konsep filosofi yang mereka inginkan. Satu mahasiswa mengembangkan bentuk massa
sebuah bangunan Jogjakarta Cyber Center agar sesuai dengan tapak. Mahasiswa
yang lain mempelajari efek cahaya alami untuk menyinari ruang-ruang pada Museum
Digantaranya sehingga diperoleh cahaya dengan warna tertentu pada jam tertentu
yang mengekspresikan perjalanan sejarah TNI-AU. Kesulitan lebih banyak dialami
karena belum adanya referensi yang cukup lengkap untuk melakukan proses desain
dengan cara tersebut (kedua mahasiswa menjadi pioneer dalam metoda pendekatan
desain ini). Kurang mendalamnya pengetahuan tentang fisika bangunan juga andil
dalam memberi keragu-raguan apakah bentuk-bentuk yang diperoleh sesuai dengan
iklim tropis lembab.
Satwiko
dan Leksono mengembangkan bentuk bangunan sederhana dengan bantuan program
Computation Fluid Dynamic. Bentuk rumah yang dihasilkan dapat mengeskplorasi
efek aerodinamis dan termal bentuk bangunan dan materialnya sehingga mendorong
terjadinya vertical ventilation yang merata pada seluruh sudut rumah. Walau
terlihat bentuk atap aneh, namun simulasi komputer mengklarifikasi adanya
pergerakan ventilasi tersebut. Kemudian, dari hasil komputer dibuat bentuk
nyata yang ternyata menunjukkan bahwa apa yang disimulasikan oleh komputer
(virtual) benar-benar terjadi dalam dunia nyata (real world).
PENUTUP
Sudah
saatnya sekolah-sekolah arsitektur dan para arsitek menggunakan teknologi
informasi dan komputer secara lebih efektif dan efisien (Satwiko, 2000).
Perangkat lunak dan keras komputer yang tersedia saat ini sudah lebih dari
cukup untuk membuat desain tidak saja indah tetapi dapat dipertanggungjawabkan
secara teknis. Mengingat bahwa Indonesia terletak di iklim tropis lembab dan
umumnya software dikembangkan oleh negara maju beriklim empat musim, maka
penyesuaian-penyesuaian diperlukan. Salah satu cara terbaik untuk menyesuaikan
adalah dengan memakai software yang ada dan mengklaribasikan sesuai iklim
lokal. Itu hanya dapat dilakukan bila arsitek (dosen, peneliti, praktisi) dan
calon arsitek mau belajar lagi dan menjadi orang yang sungguh berkompeten pada
desain arsitektur.
Tabel 1
Contoh-contoh pemakaian program komputer dalam proses penemuan bentuk
arsitektural
No comments:
Post a Comment