Wednesday 30 December 2015

Teknik Watermarking dalam kawasan alihragam Wavelet

TEKNIK WATERMARKING DALAM KAWASAN ALIHRAGAM WAVELET. Penyebaran data digital yang berkembang saat ini memiliki dua pokok persoalan: pertama, hasil dan mutu reproduksi yang sama persis dengan aslinya, sehingga dimungkinkan sekali penggandaan dalam skala besar. Kedua, pengguna yang tidak sah dapat menggandakan dan menyebarkan sendiri untuk keuntungan pribadi, tanpa dapat dicegah atau dilacak.
Sehingga diperlukan metode agar penyebaran data masih dapat memberikan data pemilik yang sah yang nantinya bila terjadi delik pengaduan, data digital yang digandakan dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan yang sah.
Teknik watermarking adalah bentuk proteksi copyright dengan menambahkan ‘mark’ berupa data bit atau data citra yang disisipkan dalam data digital. Bila terjadi penggandaan, mark ikut masuk pula dalam data penggandaan tersebut.
Simulasi Matlab untuk teknik watermarking dalam kawasan alihragam wavelet (khususnya stationary wavelet transform), dengan mark berbentuk citra, akan menghasilkan citra watermarking yang nyaris sama dengan data asli (nilai korelasi = 0,9999) yang tahan terhadap gangguan yang ada (penskalaan, rotasi, pemotongan, kompresi, dan pemfilteran).
Katakunci: Alihragam, wavelet, watermarking, mark

Latar Belakang
Dengan perkembangan Internet dan adanya sumber berbagai proses computing di mana-mana, perlu adanya pengakuan hak cipta atas karya di bidang digital, seperti penyebaran citra, MP3, dan Video. Dalam bentuk digital, penyebaran karena pengkopian sangat sulit dihentikan ataupun dibawa ke pengadilan, karena hasil pengkopian sama persis dengan masternya. Untuk itu, perlu teknik tertentu agar pengkopian dapat dilacak atau pengkopian illegal itu dicegah.
Maka diinginkan suatu cara penyebaran informasi (data) secara mudah seperti lewat Internet, karena setiap orang dapat mengakses dan mengkopi informasi tersebut, tetapi
di sisi lain diinginkan untuk informasi tertentu, hanya yang berlisensi sajalah yang dapat menggunakan dan mengkopinya. Metode pengamanan data telah banyak dilakukan diantaranya steganografi, enkripsi, dan fingerprint. Untuk steganografi murni tidak banyak dilakukan vendor, karena tidak diinginkan user kesulitan dalam mengurai sandi yang ada didalamnya. Untuk pengamanan enkripsi, bila telah diketahui dekripsinya, maka data tadi dapat diperbanyak lagi tanpa kesulitan berarti. Untuk pengamanan fingerprint yang utamanya digunakan untuk melacak asal-usul data tidak dapat berpengaruh banyak, sebab user yang tidak berlisensi tidak memperdulikan apakah data yang digunakan asli atau tidak.
Penyebaran melalui Internet tersebut masih menjadi kekawatiran pihak vendor, karena bagi user yang berlisensi dapat saja memperbanyak data yang diterima, disebarkan tanpa ijin vendor tersebut, sehingga perlu cara lainnya agar data dapat dilacak asal usulnya, yang dikenal dengan teknik pengamanan watermarking.
Tujuan watermarking adalah untuk proteksi copyright dengan menambahkan ‘mark’, yang umumnya berguna untuk mengidentifikasi pemilik yang sah. Mark dapat berupa nomor register (seperti UPC: Universal Producer Number) yang dijumpai dalam CD, pesan teks, atau gambar berupa logo. Sedangkan data yang hendak diberi watermark umumnya berupa citra.
Teknik watermarking yang berkembang saat ini, masih memiliki kekurangan dalam hal ketahanan di dalam menghadapi pemfilteran dan proses geometri citra. Untuk itu, dikembangkan metode lain: ‘Teknik watermarking dalam kawasan alihragam wavelet’ agar teknik watermarking tersebut lebih kokoh terhadap serangan yang ada.
Istilah steganografi atau menyembunyikan informasi sejarahnya telah dimulai sejak jaman Yunani kuno ketika seorang raja hendak mengirimkan pesan rahasia yang harus melewati daerah musuh. Raja tersebut memanggil budak kepercayaannya untuk kemudian mentato pesannya diatas kulit kepala, begitu rambut budak tersebut tumbuh, dikirimlah budak tersebut hingga ke tujuannya. Teknik demikian terus berkembang hingga pada abad 20, ketika tentara Jerman menyembunyikan informasi dengan cara menulis pesan dengan tinta yang tidak dapat dilihat. Begitu sampai di tujuan, pesan tersebut diolah sedemikian rupa hingga tulisannya muncul.
Teknik steganografi saat ini berkembang kearah penggunaan komputer. Aplikasi yang telah menggunakannya antara lain dalam bentuk service data digital dan multimedia. Personal Computer dengan koneksi Internet memberikan andil besar dalam distribusi data digital, dan juga karena dalam operasionalnya mudah serta cepat, menyebabkan makin berkembangnya jasa penjualan aplikasi Electronic Commerce dan service online lewat koneksi Internet ini.
Meskipun data digital memiliki beberapa keunggulan dibanding analog, service provider enggan menawarkan service dalam bentuk digital, sebab takut adanya duplikasi tidak sah dan belum adanya bukti yang kuat perihal keabsahan kepemilikan barang digital (copyright).
Untuk menyediakan proteksi copy dan proteksi copyright bentuk digital audio dan video, steganografi dikembangkan menjadi dua bentuk pengamanan: encryption dan watermarking [Langelaar: 2000]. Teknik encryption digunakan untuk memproteksi data digital selama transmisi dari pengirim ke penerima, sehingga setelah data diterima dan di-decryp, data itu terbebas dari proteksinya dan bersih. Sedangkan teknik watermarking, yang merupakan bentuk komplemen encryption, dilakukan dengan cara menambahkan kode rahasia dalam taraf jauh di atas ambang berupa watermark langsung ke data. Setelah data diterima dan di-decryp, watermark itu tetap menempel di data aslinya, sehingga data tidak dalam bentuk bersih (tetapi data dapat diterima seperti aslinya, dimana tambahan watermark tidak mengganggu data asli).
Untuk saat ini, seiring dengan kemajuan teknik digital, teknik steganografi berkembang kearah bentuk menempelkan logo dalam informasi yang dapat dilihat (watermarking tampak), atau logo yang tidak dapat dilihat (watermarking tidak tampak) yang disimpan dalam citra digital. Sekarang, watermark dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan dalam persidangan [Langelaar: 2000].
Untuk host yang berbentuk citra atau disebut citra asli, dapat disisipi watermark berupa bit data yang dibentuk melingkar [Licks:1999], atau citra lainnya yang berbeda tingkat energinya seperti dalam kawasan wavelet [Meerwald: 2001], dengan menggunakan pengaman umum berupa derau atau noise pseudorandom sebagai secret/public key [Kutter: 1999] [Meerwald: 2001].
Diperoleh hasil untuk spatial domain memiliki kelebihan dalam hal komputasi yang lebih rendah dibandingkan dengan domain transform, tetapi kekurangannya yaitu kapasitas untuk spatial domain yang terbatas sehingga kurang efektif bila ada serangan watermarking [Nphaze: 2000].
Terdapat beberapa macam transform domain yang dapat digunakan sebagai media ‘pertemuan’ antara watermark dengan data yang berupa gambar atau bit teks. Semua algoritma transform domain dianggap sebagai watermarking robust, yang menawarkan akses operasi ke komponen frekuensi dalam citra asli [Langelaar: 2000]. Diantaranya: DCT (discrete cosine transform), DFT (discrete Fourier transform), dan DWT (discrete wavelet transform). Untuk domain transform seperti Fourier transform meng-code data dalam keseluruhan frekuensi citra asli, sedangkan untuk spatial domain menempatkan data ke citra melalui sebagian pergeseran bit sehingga metode Fourier transform dalam watermarking lebih kokoh terhadap gangguan yang ada.
Diantara ketiga transform domain itu, DWT memiliki kelebihan dalam hal ketelitian analisis terhadap berbagai sinyal transform [Meerwald, 2001]. Koefesien transformasi hasil DWT selanjutnya digabungkan dengan data watermark yang juga telah dipersiapkan guna penggabungkan. Pemilihan penggabungan dapat terjadi pada kisar frekuensi low – high.
Adapun teknik watermarking dalam spatial domain dilakukan dengan cara menambahkan pola noise pseudorandom ke nilai luminans piksel-nya. Umumnya pola noise pseudorandom terdiri atas integer {-1,0,1}, meski nilai floating point dapat pula digunakan. Pola itu dihasilkan dengan berdasarkan kunci misalnya , seeds, linear shift registers, atau randomly shuffled binary images. Keterbatasan dari metode ini, yaitu tidak meratanya energi dalam pola, sehingga pola tidak ada korelasi dengan isi host image. Untuk membuat watermark image Iw(x,y) maka pola random k(x,y) dikalikan dengan faktor gain kecil dan ditambahkan ke host image I(x,y). Untuk mendeteksi watermark dalam image I’w(x,y) dihitung dengan mengkalkulasi korelasi diantara image I’w(x,y) dan pola noise pseudorandom k(x,y).
Gambar 1 Skema pembentukan dan penguraian dalam teknik watermarking [Kutter: 1999]. Dalam skema penguraian, citra asli digunakan sebagai pembanding untuk menghasilkan watermark atau mark.
Pada saat mendeteksi keberadaan mark dalam watermarking, terdapat dua tipe kesalahan. Pertama, dapat mendeteksi keberadaan watermark, meskipun sebenarnya tidak ada di dalamnya. Ini disebut false positive. Kedua, detektor menolak keberadaan watermark, meski sebenarnya ada. Ini disebut false negative.

Pemrosesan Citra dalam Matlab
Dasar struktur data di Matlab adalah array, yang berisikan elemen bilangan real atau kompleks. Karena bentuknya berupa bilangan array sehingga struktur Matlab cocok untuk mewakili citra [Image Processing Toolbox: 2000].
Matlab menyimpan citra tersebut dalam array dua-dimensi (yaitu Matriks), tiap elemen matriks berhubungan dengan piksel tunggal dalam citra yang tampil. Piksel (pixel atau picture element) menyatakan dot tunggal dalam tampilan komputer. Bila citra tersusun atas 200 baris dan 300 kolom, dot matriks tersebut tersimpan dalam Matlab sebagai matriks 200x300.
Dalam keadaan baku (default), Matlab menyimpan data dalam array kelas dobel, yaitu bentuk double precision floating point number yang berkapasitas 64-bit. Untuk itu, setiap fungsi dalam Matlab bekerja dalam kelas dobel [wavelet toolbox: 2000], termasuk di dalamnya operasi untuk alihragam wavelet.
Dalam proses selanjutnya, presentasi data kelas dobel ini tidak selalu ideal sebab jumlah piksel dalam sebuah citra dapat sangat besar, misalnya citra berukuran 1000x1000 akan memiliki jutaan piksel. Bila tiap piksel sedikitnya satu elemen array, maka citra tersebut memerlukan kurang lebih 8 megabytes memori.
Guna mengurangi memori, Matlab mendukung penggunaan penyimpanan data dalam array kelas uint8 dan uint16. Data dalam array ini disimpan sebagai 8 bit atau 16 bit integer.


Indeks Citra
Indeks citra terdiri atas data matriks X, dan colormap matriks map. X dapat diisi data kelas apa saja (uint8, uint16, atau dobel). Map merupakan array mx3 dalam kelas dobel yang berisikan nilai floating point dalam kisar [0,1]. Tiap baris map menentukan intensitas tiga warna RBG: red, green, dan blue guna membentuk warna tunggal. Indeks citra menggunakan metode penempatan langsung (direct mapping) nilai piksel ke nilai colormap. Warna tiap pixel ditentukan dengan menggunakan hubungan nilai X sebagai sebuah indeks ke map. Nilai angka 1 menunjukkan ke baris pertama dalam map, nilai angka 2 menunjukkan baris kedua, dan seterusnya.
Colormap sering disimpan bersamaan dengan indeks citra, dan secara otomatis melekat dengan citra saat dipanggil dengan fungsi imread.

Intensitas Citra
Intensitas citra merupakan data matriks yang bernilai dalam kisar tertentu yang tersimpan dalam matriks tunggal, dengan tiap elemen matriks berhubungan dengan satu piksel. Matriks dapat dimasukkan dalam kelas dobel, uint8, atau uint16. sementara itu intensitas citra jarang disimpan dengan colormap, dan untuk memanggilnya digunakan perintah colormap.
Elemen intensitas matriks dengan nilai kisar tertentu atau sering disebut kisar level gray, untuk nilai 0 menunjukkan warna hitam dan nilai-nilai: 1 (kelas dobel), 255 (kelas uint8), atau 65535 (kelas uint16) menunjukkan warna putih sebagai nilai intensitas tertinggi. Untuk citra grayscale nilai map-nya berisi tiga nilai intensitas warna, nilai intensitas dengan kisar dari hitam ke putih.

Alihragam Wavelet
Ide dasar DWT satu dimensi (sinyal) sebagai berikut: sinyal dipecah menjadi dua bagian, bagian frekuensi rendah dan bagian frekuensi tinggi. Bagian frekuensi rendah dipecah lagi menjadi bagian frekuensi rendah dan bagian frekuensi tinggi. Proses pemecahan diteruskan hingga sinyal seluruhnya telah di-dekomposisi atau dihentikan oleh user. Dari koefesien DWT, sinyal asli dapat direkonstruksi. Proses rekonstruksi disebut inverse DWT (IDWT). Secara matematis, filter lowpass dan highpass dinyatakan sebagai berikut:



Pengujian
Ujicoba menyembunyikan data citra ke beberapa citra asli, digunakan untuk memperlihatkan kesamaan bentuk pandang antara citra asli dengan citra watermarking. Ujicoba dianggap berhasil bila penguji sulit membedakan antara citra asli dengan citra watermarking secara visual.
Citra watermarking dianggap aman atau tahan dari perusak bila citra watermarking tersebut gagal dipisahkan antara citra asli dengan datanya. Adapun perusakan yang diuji disini berupa perlakuan operasi citra, diantaranya: mengubah ukuran (resize), pemotongan (cropping), pemutaran (rotasi), dan kompresi (compress).
Tabel 1 Nilai korelasi citra asli dengan watermarking dalam menentukan derajat komposisi SWT

Dengan menggunakan pedoman dekomposisi SWT sebesar 26 dan rekonstruksi 35, teknik watermarking tahan terhadap serangan yang ada seperti terlihat dalam bentuk grafik seperti dalam Gambar 2.

Kesimpulan
Teknik watermarking mendapatkan citra watermarking terbagus dengan nilai korelasi = 0.9999, saat mencapai nilai dekomposisi 26 dan rekonstruksi 35. Dengan proses penskalaan, rotasi, dan pemotongan menyebabkan tampilan citra watermarking masih seperti aslinya.
Proses kompresi menyebabkan penurunan kualitas citra mark dengan cepat seiring dengan penurunan opsi kualitas, tetapi untuk kualitas citra watermarking tidak begitu terlihat hingga nilai quality dibawah 10 (kompresi 90%).
Secara keseluruhan, teknik watermarking dalam kawasan alihragam wavelet ini masuk dalam kategori kokoh terhadap serangan dan memiliki bentuk seperti aslinya.
Gambar 2 Teknik Watermarking

No comments:

Post a Comment