STRATEGI
PENYEMAIAN RISET-KONSTRUKTIF DALAM PROGDI
ARSITEKTUR.
UNESCO, pada
1981, mencatat bahwa publikasi arsitektur dalam bentuk buku (1,1%) dan majalah
(0,1%) menempati porsi terkecil dari keseluruhan penerbitan berbagai ilmu.
Melalui dikotomi Utara-Selatan, angka tersebut dapat mencerminkan produksi
tipikal di Indonesia; set-back dari minimalitas produksi tersebut tentulah
akibat riset yang minim pula. Sebagai disiplin yang bekerja untuk
mengintegrasikan solusi-interdisipliner ke dalam built-environment,
karakteristiknya yang mengoptimasi pilihan-pilihan menyebabkan obskuritas core
of competence dan kecenderungan untuk abai terhadap riset per disiplin. Selain
itu, upaya memproduksi riset pada era pasca-kuantum bukanlah persoalan
sederhana, karena kita harus berhadapan dengan isu eco-sustainability.
Mengabaikan hal itu berarti menambah entropi alam; namun, riset-konstruktif
hanya popular dalam penerimaan terhadap kerangka ekologis (kemandirian ekonomi,
natural-based technology. Paper ini berupaya mengeksplorasi strategi penyemaian
riset-konstruktif dalam progdi arsitektur,melalui pembahasan mengenai kritik
ontologis terhadap arsitektur (identifikasi core of competence) , isu-isu
ekologis, serta ragam tema yang dapat dikelola berbasis kedua hal tersebut.
Kata Kunci:
riset-konstruktif
Nasion,
historical value, dan post-mortem
Manakala
berefleksi kepada nasion-industrial tentang pencapaian sains-teknologi,
segeralah intensi para intelektual menyibak rerimbunan moda hingga ke base
structure persoalan. Para nasion-industrial memiliki historisitas yang
menyebabkan post-mortem menjadi alamiah pula primer: Eropa mengukuhkan
Renaisans melalui asendensi mind dan reason, sementara Jepang terlahir-ulang
melalui celupan religiositas Zen-Buddhism. Penguasaan Jepang
terhadap Western civilization (kurang dari rentang 90 tahun) dicapai akibat pemikiran Jepang terlatih secara esensial oleh rationalistic yang disediakan oleh Buddhism-300 tahun untuk melahirkan doktrin filsafat Shingon dan Tendai, 600 tahun untuk melahirkan pemikir original semisal Honen, Shinran, Dogen, dan Nichiren (Shoson, 1967:61).
terhadap Western civilization (kurang dari rentang 90 tahun) dicapai akibat pemikiran Jepang terlatih secara esensial oleh rationalistic yang disediakan oleh Buddhism-300 tahun untuk melahirkan doktrin filsafat Shingon dan Tendai, 600 tahun untuk melahirkan pemikir original semisal Honen, Shinran, Dogen, dan Nichiren (Shoson, 1967:61).
Bagi
Barat-modern, investigasi ilmiah bukan semata tematik untuk publisitas seraya
menyeringai-tawa melainkan suatu pernyataan tentang bagaimana seharusnya suatu
kehidupan dijalankan di semesta raya: manusia sebagai determinan eksistensinya,
historical value. Tanpa inkuisisi institusi-keagamaan abad Pertengahan terhadap
para perintis-awal sains Eropa maka tak terbayangkanlah progres riset dan
status yang diterima ilmuwan di masa ini. Pengalaman historis dalam persentuhan
kritikal pada beragam peristiwa, yang terkadang mesti dibayar meminum racun
(kasus Socrates) atau perampasan hak (kasus N. Copernicus, Galileo Galilei),
menyebabkan post mortem (representasi manusia yang berkehendak bebas) digelar
guna menihilisasi ‘ketakpastian kebenaran’ dalam bentuk apapun.
Under-developed
dan developing countries, termasuk Indonesia, tak mengalami historisitas yang
berakhir pada historical value bernuansa saintifik. Pemicu, bawah-sadar, riset
bagi para nasion ini hanyalah kesetaraan status dalam pergaulan global; suatu
inferioritas yang belum pulih akibat dari imperialisme-kolonialisme. Di sinilah
titik-tolak riset mengalami obskuritas; meski terlihat gegap-gempita, namun
senantiasa gagal mentransformasi mental attitude untuk merengkuh kebenaran (thruth). Bila basic structure internal, yang
berupa inquiry for the truth tak mengakar, maka penyemaian riset-konstruktif
hanya dapat dilakukan melalui pembangunan visi, koridor operasional, dan parameter
direksional. Ulasan pada paper ini ditujukan pada progdi arsitektur, terutama
di wilayah edukasi UMS, dan difokuskan pada aspek kurikulum sebagai basic
structure. Sistematika akan disusun sebagai berikut: visi (kritik ontologis),
koridor operasional (rerambu guna memantapkan basic structure
riset-konstruktif), parameter direksional (kolektif alat-ukur yang mampu
memberi arahan keberhasilan), dan penutup.
Visi
Analogi
fakta historis para nasion Utara-Selatan tersebut tampak dalam arsitektur dalam
rupa school of architecture (nasion), geosfer (historical value),
riset-konstruktif (post-mortem). Jepang merubah karakter edukasi arsitekturnya
dari Beau-des-Arts (era Prof. Joseph Condor, Prof. Kingo TATSUNO) menuju
engineering orientation -era Prof. Toshikata SANO (Kunihiro,2002); karakter
gempabumi yang dahsyat (historical value) di Noobi (1891) dan Kanto (1923)
menjadikan post-mortem lebih konstruktif (based on real demand). Visi adalah
sesuatu yang diperjuangkan; manakala edukasi-arsitektur mengalami transformasi
sejarah maka sejumlah asumsi klasikalnya harus dikritisi. Terminologi
architecture (orientasi pada statika) telah kadaluarsa untuk mendeskripsi area
kerja dan isu futuristis yang sedang ditempuh.
Ontologi
architecture (pemilahan art-structure, fokus pada building scale, normative
theory) menyebabkan kurikulum edukasi (1) memilah studio menjadi kutub
perancangan arsitektur dan teknologi, (2) design process menjadi mistikal, (3)
riset arbitrer dan tumpang-tindih dengan disiplin lain (arkeologi, antropologi,psikologi,
sosiologi). Semua domain kajian architecture telah dilakukan disiplin lain,
misalnya spatial change dilakukan oleh arkeologi dan geografi tata-wilayah,
structure-construction dilakukan oleh civil engineering. Agaknya disiplin lain
mulai menengarai kerentanan ini, bahkan secara formal tematik tradisional
architecture menjadi optional subjects dalam kurikulum civil engineering.
Optional subject ini mencerap hal-hal vital bahkan lebih ekstensif dalam
cakupan; memuat hal-hal sebagai berikut:
Design and the
Built Environment Fire engineering –causes, prevention and design against.
Architecture – Egyptian, Greek, Roma, medieval and renaissance building types;
industrial revolution; new materials; emergence of modern building forms,
architectural principles (aesthetic design, composition scale, proportion,
harmony and punctuation); landscape, visual and siting considerations, energy
efficient building forms; effects of pollution on building materials.
Planning-history and development, legal framework in Ireland; development
plans; town planning and urban renewal; aesthetics; housing estate layout and
design; landscaping principles; land use; utility services; demographic
studies. Archaeology and the civil engineer.
Melalui
pengkondisian tertentu, daya serap civil engineer (yang akrab dengan
kuantifikasi dengan basic science yang kukuh) tentulah lebih cepat dalam hal
mengadopsi materi design and the built environment tersebut, ketimbang
architecture (yang abai terhadap positive theory) bila hendak mengadopsi materi
bermuatan kuantitatif.
Visi
yang harus dianut adalah mentransformasi architecture menjadi
settlement-engineering (Winaktoe, 2002) sehingga mampu menata-ulang kekisruhan
menuju karakter sebagai berikut: pemilahan well-structured vs. ill-structured
problems, pencakupan content (man, society) dan container (nature, networks,
shells), perkuatan positive theory. Settlement engineering merupakan
persyaratan terhadap prakondisi pembentukan basic structure untuk
riset-konstruktif karena (1) berkarakter integrative (pada settlement) sehingga
mewajibkan penguasaan terhadap basic concepts, guidelines, engineering formula
atau rule of thumbs, (2) memetakan tematik sesuai original discipline sehingga
mendorong penjelajahan ke sumber-sumber primer. Perpaduan antara settlement
engineering dengan design as a problem solving membentuk suatu orientasi yang
konstruktif, bahwa diseminasi pengetahuan haruslah mencapai suatu titik yang
memampukan kelahiran solusi. Hal ini akan memicu riset yang bermula dari real
demands (pembangunan, industri, pengembangan basic science) dan selanjutnya
melempangkan jalan bagi patent, replikasi, dan signifikansi progdi di dunia
akademis. Bentuk dasar dari visi ini, pertama-tama , mestilah mendapat
legalitasnya dalam struktur dan content kurikulum sehingga dapat menjadi
kesadaran komunal.
Koridor
operasional
UNESCO,
pada 1981, mencatat bahwa publikasi arsitektur dalam bentuk buku (1,1%) dan
majalah (0,1%) menempati porsi terkecil dari keseluruhan penerbitan berbagai
ilmu (Budihardjo, 1997:118).Lemah dalam ontologi menyebabkan riset-konstruktif
arsitektur tak memperoleh dukungan infrastruktur yang mapan, misalnya (1) riset
untuk merekayasa building material yang terjangkau oleh low-income society tak
dapat disediakan oleh progdi arsitektur karena basic science mengenai material
(aspek statika, fisis, kimia), proses (recycling, reuse), dan uji laboratorium
(toksikologi, kuat tekan, u-value) tak eksis dalam kurikulum; namun (2) riset
mengenai spatial change yang popular di strata-1 arkeologi/antropologi justru
menjadi favorit bagi periset arsitektur strata-2, bahkan level doktoral.
Patutlah publikasi menjadi rendah, karena infrastruktur tak memadai untuk
memproduksi riset.Para edukator menikmati status sebagai engineer tanpa pernah
memberi sumbangsih kerekayasaan bahkan merambah jauh ke spekulasi politik,
abtrak, dan mempersempit daya justifikasi educated architects. Bila historical
value tak eksis di level nasion, dan visi tak mendapat penerimaan (acceptance)
maka suatu rerambu berikut ini adalah screening terakhir yang menjadi penentu
sustainabilitas riset-konstruktif bahkan validitas progdi-arsitektur sendiri.
Ecological-sustainability.
Pada
1920-an, penemuan mutakhir mengenai teori-kuantum telah merubah cara pandang
dan konsekuensi mekanis-Newtonian menjadi “holistik atau human ecological”
(Carley dan Christie, 1992:75-79). Salah satu implikasi terpenting bagi
pengetahuan tentang penataan lingkungan-fisik tentulah mengenai kedudukan
nature yang disadari berposisi kolaboratif dengan manusia di dalam ekosistem.
Bagi arsitektur, Hk. Termodinamika I, energy conversion, menjadi justifikasi
reuse, reduce, recycling; namun Hk. Termodinamika ke II, entropy, menjadi
pembatas seluruh aktivitas yang melibatkan energi. Progdi arsitektur (berbasis religi
ataukah tidak) mestilah mengadopsi kesadaran entropy dalam bentuk, antara lain,
(1) pengendalian material flow (produksi lokal ketimbang import, high embodied
energy), (2) passive low-energy usage, bioclimatic consideration, (3)
energy-efficient (climatic, building envelope, HVAC, alternative energy
resources). Kesadaran entropy tersebut adalah direksional bagi
riset-konstruktif,, karena berdasar pada urgensi persoalan (bahkan berskala
global) akibat signifikansinya dalam memperbaiki climate change, mendorong
biodiversity, bahkan aksi-nyata iman/religiositas. Kembali, suatu upaya
transfer basic science diperlukan karena secara praktikal pemikiran
eco-sustainability menjadi minoritas di progdi arsitektur; mengadopsi kesadaran
entropy akan menata-ulang struktur pemikiran arsitektur-konvensional dan memicu
arahan yang tak hanya tepat secara saintifik melainkan memperoleh penguatan
iman.
Geosfer
dan Business reports
Suatu
sistem yang handal haruslah cukup ketat untuk memaksa para subyek untuk
berperilaku sistemik, namun cukup fleksibel pula untuk memberi jarak bagi
refleksi atas sistem tersebut. Hal ini berarti bahwa kurikulum dan skenario
edukasi harus dilakukan secara konsisten sekaligus adaptatif terhadap
kebutuhan-kebutuhan pasar. Market demand selalu lebih maju ketimbang
restrukturisasi internal sistem edukasi, oleh karena itu kurikulum harus
mencerminkan daya lentur ini melalui pemilahan core of competence (sebagai
fixed element) dan adaptive thematic (flexible element). Adopsi strategi ini
akan senantiasa menyadarkan researcher bahwa problem riset bersifat dinamik,
meski tetap ada sejumlah isu yang cenderung perennial.
Core
of competence harus dibangun dari karakteristik geosfer (hidrosfer, litosfer,
pedosfer, atmosfer, biosfer, antroposfer), tematik yang sangat selaras dengan
kategorisasi Ekistics Doxiadisian (settlement engineering), sehingga proposal
riset hadir untuk menjawab tantangan geosfer tersebut. Bila sebuah progdi
memiliki pesisir, maka riset menjadi konstruktif apabila core of competence menjawab
tantangan-tantangan coastal area; bila berada di urban area maka
konstruktifitas riset harus peka terhadap isu-isu ketersediaan air (hidrosfer),
seismic design (litosfer), degradasi lahan urban-agriculture (pedosfer), urban
heat island (atmosfer), urban housing dan settlement (antroposfer). Pada sisi
lain adaptive thematic harus dibangun melalui pencermatan atas business report
(Kadin, laporan ikatan profesi, analisis peluang oleh market analyst, dll).
Business report menjadi determinan materi edukasi dan peluang bagi riset
konstruktif karena secara fundamental kehadirannya bermula dari kebutuhan
business world; link and match riset harus dimulai dari kesadaran dan legalitas
kurikulum. Kondisi yang mampu melahirkan riset-konstruktif hanya mungkin muncul
dari kebutuhan nyata, bukan dari loncatan sentimental. Sungguh tak bijaksana
mencetak sejumlah-besar building designer sementara pasar menghendaki building
management, rural planner, atau ergonomic specialist. Pada sisi permukaan,
riset-konstruktif hanya lahir dari kepekaan terhadap persoalan riil; pada sisi
esensial, lahir dari historical value untuk melenyapkan ilusi atas hidup
manusia.
Parameter
direksional
Seluruh
strategi tersebut pada dasarnya bersifat prakondisi sekaligus alat untuk
sustainabilitas riset-konstruktif, baik yang berkorelasi langsung dengan dunia
industrial maupun cukup diterapkan secara kontekstual. Posisi atau profil
apapun itu, mengenali parameter direksional adalah suatu hal yang penting,
karena penanda itulah yang mampu memberi peringatan-dini tentang ketepatan arah
yang ditempuh skenario tersebut.
Bilamana
bidang telaah per laboratorium mendasarkan dirinya pada kurikulum, dan
kurikulum mendasarkan pada visi, eco-sustainability, geosfer, dan business
report maka dapat dipastikan prakondisi riset-konstruktif telah memadai secara
komunal. Sebuah laboratorium toksikologi-arsitektur yang menjalankan riset
toksikologi lingkungan, namun tak didukung oleh materi-ajar environmental
toxicology pada kurikulum, dapat dikatakan berada pada arah yang tepat namun
tak serta-merta menunjukkan riset-konstruktif telah bersemai karena
legalitas-formal menunjukkan absensi basic science.
Tingkat
produktifitas tematik-konstruktif serta inisiatif terhadap dan invitasi dari
dunia industri maupun professional untuk melakukan review, evaluasi, maupun
re-engineering dapat dijadikan tolok-ukur tingkat kepakaran dan persemaian
riset-konstruktif.. Hal ini disebabkan produktifitas riset hanya dapat dimulai
bila tranfer basic science, methodology, dan teknologi telah cukup matang untuk
menuai kritisisme dalam bentuk inovasi, invensi, maupun adaptasi.
Penutup
Dapatlah
kita simpulkan bahwa perkara penyemaian riset adalah soal yang merentang dari
level nasion hingga sistem edukasi. Historical value adalah faktor terpenting,
lalu berturut-turut visi (ontologi, basic science, laboratorium, kurikulum),
dan koridor operasional (eco-sustainability, geosfer, business report).
Riset-konstruktif adalah riset yang bermula dari dan untuk menjawab riil
demand, terutama berkait dengan konteks geosfer, dan bukan dari loncatan
sentimental.
Prakondisi
bagi riset-konstruktif harus dimulai dari penyediaan basic science, dilegalkan
dalam kurikulum, lalu mendapatkan eksplorasi pematangan dalam laboratorium.
Inkoherensi dalam memperlakukan ketiga hal tersebut menunjukkan bahwa
kritisisme tak cukup berdaya, prakondisi bersifat chaos. Sungguh memprihatinkan
bahwa progdi arsitektur terus memupuk inkoherensi ini dan tak berupaya beranjak
dari asumsi-asumsi konvensionalnya. Terdapat peluang besar bahwa inkapabilitas
progdi arsitektur dalam menyelesaikan isu-isu geosfer dapat saja diambil-alih
oleh disiplin lain (kasus optional subject), sehingga signifikansi progdi
arsitektur semakin absurd dalam konstelasi riset-konstruktif. Restrukturisasi harus
diupayakan sesegera mungkin sehingga progdi arsitektur tetap eksis dalam
ekosistem pengetahuan.
No comments:
Post a Comment