Wednesday 30 December 2015

Strategi penyemaian riset-konstruktif dalam progdi arsitektur

STRATEGI PENYEMAIAN RISET-KONSTRUKTIF DALAM PROGDI ARSITEKTUR. 
UNESCO, pada 1981, mencatat bahwa publikasi arsitektur dalam bentuk buku (1,1%) dan majalah (0,1%) menempati porsi terkecil dari keseluruhan penerbitan berbagai ilmu. Melalui dikotomi Utara-Selatan, angka tersebut dapat mencerminkan produksi tipikal di Indonesia; set-back dari minimalitas produksi tersebut tentulah akibat riset yang minim pula. Sebagai disiplin yang bekerja untuk mengintegrasikan solusi-interdisipliner ke dalam built-environment, karakteristiknya yang mengoptimasi pilihan-pilihan menyebabkan obskuritas core of competence dan kecenderungan untuk abai terhadap riset per disiplin. Selain itu, upaya memproduksi riset pada era pasca-kuantum bukanlah persoalan sederhana, karena kita harus berhadapan dengan isu eco-sustainability. Mengabaikan hal itu berarti menambah entropi alam; namun, riset-konstruktif hanya popular dalam penerimaan terhadap kerangka ekologis (kemandirian ekonomi, natural-based technology. Paper ini berupaya mengeksplorasi strategi penyemaian riset-konstruktif dalam progdi arsitektur,melalui pembahasan mengenai kritik ontologis terhadap arsitektur (identifikasi core of competence) , isu-isu ekologis, serta ragam tema yang dapat dikelola berbasis kedua hal tersebut.
Kata Kunci: riset-konstruktif

Nasion, historical value, dan post-mortem
Manakala berefleksi kepada nasion-industrial tentang pencapaian sains-teknologi, segeralah intensi para intelektual menyibak rerimbunan moda hingga ke base structure persoalan. Para nasion-industrial memiliki historisitas yang menyebabkan post-mortem menjadi alamiah pula primer: Eropa mengukuhkan Renaisans melalui asendensi mind dan reason, sementara Jepang terlahir-ulang melalui celupan religiositas Zen-Buddhism. Penguasaan Jepang
terhadap Western civilization (kurang dari rentang 90 tahun) dicapai akibat pemikiran Jepang terlatih secara esensial oleh rationalistic yang disediakan oleh Buddhism-300 tahun untuk melahirkan doktrin filsafat Shingon dan Tendai, 600 tahun untuk melahirkan pemikir original semisal Honen, Shinran, Dogen, dan Nichiren (Shoson, 1967:61).
Bagi Barat-modern, investigasi ilmiah bukan semata tematik untuk publisitas seraya menyeringai-tawa melainkan suatu pernyataan tentang bagaimana seharusnya suatu kehidupan dijalankan di semesta raya: manusia sebagai determinan eksistensinya, historical value. Tanpa inkuisisi institusi-keagamaan abad Pertengahan terhadap para perintis-awal sains Eropa maka tak terbayangkanlah progres riset dan status yang diterima ilmuwan di masa ini. Pengalaman historis dalam persentuhan kritikal pada beragam peristiwa, yang terkadang mesti dibayar meminum racun (kasus Socrates) atau perampasan hak (kasus N. Copernicus, Galileo Galilei), menyebabkan post mortem (representasi manusia yang berkehendak bebas) digelar guna menihilisasi ‘ketakpastian kebenaran’ dalam bentuk apapun.
Under-developed dan developing countries, termasuk Indonesia, tak mengalami historisitas yang berakhir pada historical value bernuansa saintifik. Pemicu, bawah-sadar, riset bagi para nasion ini hanyalah kesetaraan status dalam pergaulan global; suatu inferioritas yang belum pulih akibat dari imperialisme-kolonialisme. Di sinilah titik-tolak riset mengalami obskuritas; meski terlihat gegap-gempita, namun senantiasa gagal mentransformasi mental attitude untuk merengkuh kebenaran  (thruth). Bila basic structure internal, yang berupa inquiry for the truth tak mengakar, maka penyemaian riset-konstruktif hanya dapat dilakukan melalui pembangunan visi, koridor operasional, dan parameter direksional. Ulasan pada paper ini ditujukan pada progdi arsitektur, terutama di wilayah edukasi UMS, dan difokuskan pada aspek kurikulum sebagai basic structure. Sistematika akan disusun sebagai berikut: visi (kritik ontologis), koridor operasional (rerambu guna memantapkan basic structure riset-konstruktif), parameter direksional (kolektif alat-ukur yang mampu memberi arahan keberhasilan), dan penutup.
Visi
Analogi fakta historis para nasion Utara-Selatan tersebut tampak dalam arsitektur dalam rupa school of architecture (nasion), geosfer (historical value), riset-konstruktif (post-mortem). Jepang merubah karakter edukasi arsitekturnya dari Beau-des-Arts (era Prof. Joseph Condor, Prof. Kingo TATSUNO) menuju engineering orientation -era Prof. Toshikata SANO (Kunihiro,2002); karakter gempabumi yang dahsyat (historical value) di Noobi (1891) dan Kanto (1923) menjadikan post-mortem lebih konstruktif (based on real demand). Visi adalah sesuatu yang diperjuangkan; manakala edukasi-arsitektur mengalami transformasi sejarah maka sejumlah asumsi klasikalnya harus dikritisi. Terminologi architecture (orientasi pada statika) telah kadaluarsa untuk mendeskripsi area kerja dan isu futuristis yang sedang ditempuh.
Ontologi architecture (pemilahan art-structure, fokus pada building scale, normative theory) menyebabkan kurikulum edukasi (1) memilah studio menjadi kutub perancangan arsitektur dan teknologi, (2) design process menjadi mistikal, (3) riset arbitrer dan tumpang-tindih dengan disiplin lain (arkeologi, antropologi,psikologi, sosiologi). Semua domain kajian architecture telah dilakukan disiplin lain, misalnya spatial change dilakukan oleh arkeologi dan geografi tata-wilayah, structure-construction dilakukan oleh civil engineering. Agaknya disiplin lain mulai menengarai kerentanan ini, bahkan secara formal tematik tradisional architecture menjadi optional subjects dalam kurikulum civil engineering. Optional subject ini mencerap hal-hal vital bahkan lebih ekstensif dalam cakupan; memuat hal-hal sebagai berikut:

Design and the Built Environment Fire engineering –causes, prevention and design against. Architecture – Egyptian, Greek, Roma, medieval and renaissance building types; industrial revolution; new materials; emergence of modern building forms, architectural principles (aesthetic design, composition scale, proportion, harmony and punctuation); landscape, visual and siting considerations, energy efficient building forms; effects of pollution on building materials. Planning-history and development, legal framework in Ireland; development plans; town planning and urban renewal; aesthetics; housing estate layout and design; landscaping principles; land use; utility services; demographic studies. Archaeology and the civil engineer.

Melalui pengkondisian tertentu, daya serap civil engineer (yang akrab dengan kuantifikasi dengan basic science yang kukuh) tentulah lebih cepat dalam hal mengadopsi materi design and the built environment tersebut, ketimbang architecture (yang abai terhadap positive theory) bila hendak mengadopsi materi bermuatan kuantitatif.
Visi yang harus dianut adalah mentransformasi architecture menjadi settlement-engineering (Winaktoe, 2002) sehingga mampu menata-ulang kekisruhan menuju karakter sebagai berikut: pemilahan well-structured vs. ill-structured problems, pencakupan content (man, society) dan container (nature, networks, shells), perkuatan positive theory. Settlement engineering merupakan persyaratan terhadap prakondisi pembentukan basic structure untuk riset-konstruktif karena (1) berkarakter integrative (pada settlement) sehingga mewajibkan penguasaan terhadap basic concepts, guidelines, engineering formula atau rule of thumbs, (2) memetakan tematik sesuai original discipline sehingga mendorong penjelajahan ke sumber-sumber primer. Perpaduan antara settlement engineering dengan design as a problem solving membentuk suatu orientasi yang konstruktif, bahwa diseminasi pengetahuan haruslah mencapai suatu titik yang memampukan kelahiran solusi. Hal ini akan memicu riset yang bermula dari real demands (pembangunan, industri, pengembangan basic science) dan selanjutnya melempangkan jalan bagi patent, replikasi, dan signifikansi progdi di dunia akademis. Bentuk dasar dari visi ini, pertama-tama , mestilah mendapat legalitasnya dalam struktur dan content kurikulum sehingga dapat menjadi kesadaran komunal.

Koridor operasional
UNESCO, pada 1981, mencatat bahwa publikasi arsitektur dalam bentuk buku (1,1%) dan majalah (0,1%) menempati porsi terkecil dari keseluruhan penerbitan berbagai ilmu (Budihardjo, 1997:118).Lemah dalam ontologi menyebabkan riset-konstruktif arsitektur tak memperoleh dukungan infrastruktur yang mapan, misalnya (1) riset untuk merekayasa building material yang terjangkau oleh low-income society tak dapat disediakan oleh progdi arsitektur karena basic science mengenai material (aspek statika, fisis, kimia), proses (recycling, reuse), dan uji laboratorium (toksikologi, kuat tekan, u-value) tak eksis dalam kurikulum; namun (2) riset mengenai spatial change yang popular di strata-1 arkeologi/antropologi justru menjadi favorit bagi periset arsitektur strata-2, bahkan level doktoral. Patutlah publikasi menjadi rendah, karena infrastruktur tak memadai untuk memproduksi riset.Para edukator menikmati status sebagai engineer tanpa pernah memberi sumbangsih kerekayasaan bahkan merambah jauh ke spekulasi politik, abtrak, dan mempersempit daya justifikasi educated architects. Bila historical value tak eksis di level nasion, dan visi tak mendapat penerimaan (acceptance) maka suatu rerambu berikut ini adalah screening terakhir yang menjadi penentu sustainabilitas riset-konstruktif bahkan validitas progdi-arsitektur sendiri.

Ecological-sustainability.
Pada 1920-an, penemuan mutakhir mengenai teori-kuantum telah merubah cara pandang dan konsekuensi mekanis-Newtonian menjadi “holistik atau human ecological” (Carley dan Christie, 1992:75-79). Salah satu implikasi terpenting bagi pengetahuan tentang penataan lingkungan-fisik tentulah mengenai kedudukan nature yang disadari berposisi kolaboratif dengan manusia di dalam ekosistem. Bagi arsitektur, Hk. Termodinamika I, energy conversion, menjadi justifikasi reuse, reduce, recycling; namun Hk. Termodinamika ke II, entropy, menjadi pembatas seluruh aktivitas yang melibatkan energi. Progdi arsitektur (berbasis religi ataukah tidak) mestilah mengadopsi kesadaran entropy dalam bentuk, antara lain, (1) pengendalian material flow (produksi lokal ketimbang import, high embodied energy), (2) passive low-energy usage, bioclimatic consideration, (3) energy-efficient (climatic, building envelope, HVAC, alternative energy resources). Kesadaran entropy tersebut adalah direksional bagi riset-konstruktif,, karena berdasar pada urgensi persoalan (bahkan berskala global) akibat signifikansinya dalam memperbaiki climate change, mendorong biodiversity, bahkan aksi-nyata iman/religiositas. Kembali, suatu upaya transfer basic science diperlukan karena secara praktikal pemikiran eco-sustainability menjadi minoritas di progdi arsitektur; mengadopsi kesadaran entropy akan menata-ulang struktur pemikiran arsitektur-konvensional dan memicu arahan yang tak hanya tepat secara saintifik melainkan memperoleh penguatan iman.

Geosfer dan Business reports
Suatu sistem yang handal haruslah cukup ketat untuk memaksa para subyek untuk berperilaku sistemik, namun cukup fleksibel pula untuk memberi jarak bagi refleksi atas sistem tersebut. Hal ini berarti bahwa kurikulum dan skenario edukasi harus dilakukan secara konsisten sekaligus adaptatif terhadap kebutuhan-kebutuhan pasar. Market demand selalu lebih maju ketimbang restrukturisasi internal sistem edukasi, oleh karena itu kurikulum harus mencerminkan daya lentur ini melalui pemilahan core of competence (sebagai fixed element) dan adaptive thematic (flexible element). Adopsi strategi ini akan senantiasa menyadarkan researcher bahwa problem riset bersifat dinamik, meski tetap ada sejumlah isu yang cenderung perennial.

Core of competence harus dibangun dari karakteristik geosfer (hidrosfer, litosfer, pedosfer, atmosfer, biosfer, antroposfer), tematik yang sangat selaras dengan kategorisasi Ekistics Doxiadisian (settlement engineering), sehingga proposal riset hadir untuk menjawab tantangan geosfer tersebut. Bila sebuah progdi memiliki pesisir, maka riset menjadi konstruktif apabila core of competence menjawab tantangan-tantangan coastal area; bila berada di urban area maka konstruktifitas riset harus peka terhadap isu-isu ketersediaan air (hidrosfer), seismic design (litosfer), degradasi lahan urban-agriculture (pedosfer), urban heat island (atmosfer), urban housing dan settlement (antroposfer). Pada sisi lain adaptive thematic harus dibangun melalui pencermatan atas business report (Kadin, laporan ikatan profesi, analisis peluang oleh market analyst, dll). Business report menjadi determinan materi edukasi dan peluang bagi riset konstruktif karena secara fundamental kehadirannya bermula dari kebutuhan business world; link and match riset harus dimulai dari kesadaran dan legalitas kurikulum. Kondisi yang mampu melahirkan riset-konstruktif hanya mungkin muncul dari kebutuhan nyata, bukan dari loncatan sentimental. Sungguh tak bijaksana mencetak sejumlah-besar building designer sementara pasar menghendaki building management, rural planner, atau ergonomic specialist. Pada sisi permukaan, riset-konstruktif hanya lahir dari kepekaan terhadap persoalan riil; pada sisi esensial, lahir dari historical value untuk melenyapkan ilusi atas hidup manusia.

Parameter direksional
Seluruh strategi tersebut pada dasarnya bersifat prakondisi sekaligus alat untuk sustainabilitas riset-konstruktif, baik yang berkorelasi langsung dengan dunia industrial maupun cukup diterapkan secara kontekstual. Posisi atau profil apapun itu, mengenali parameter direksional adalah suatu hal yang penting, karena penanda itulah yang mampu memberi peringatan-dini tentang ketepatan arah yang ditempuh skenario tersebut.
Bilamana bidang telaah per laboratorium mendasarkan dirinya pada kurikulum, dan kurikulum mendasarkan pada visi, eco-sustainability, geosfer, dan business report maka dapat dipastikan prakondisi riset-konstruktif telah memadai secara komunal. Sebuah laboratorium toksikologi-arsitektur yang menjalankan riset toksikologi lingkungan, namun tak didukung oleh materi-ajar environmental toxicology pada kurikulum, dapat dikatakan berada pada arah yang tepat namun tak serta-merta menunjukkan riset-konstruktif telah bersemai karena legalitas-formal menunjukkan absensi basic science.
Tingkat produktifitas tematik-konstruktif serta inisiatif terhadap dan invitasi dari dunia industri maupun professional untuk melakukan review, evaluasi, maupun re-engineering dapat dijadikan tolok-ukur tingkat kepakaran dan persemaian riset-konstruktif.. Hal ini disebabkan produktifitas riset hanya dapat dimulai bila tranfer basic science, methodology, dan teknologi telah cukup matang untuk menuai kritisisme dalam bentuk inovasi, invensi, maupun adaptasi.

Penutup
Dapatlah kita simpulkan bahwa perkara penyemaian riset adalah soal yang merentang dari level nasion hingga sistem edukasi. Historical value adalah faktor terpenting, lalu berturut-turut visi (ontologi, basic science, laboratorium, kurikulum), dan koridor operasional (eco-sustainability, geosfer, business report). Riset-konstruktif adalah riset yang bermula dari dan untuk menjawab riil demand, terutama berkait dengan konteks geosfer, dan bukan dari loncatan sentimental.
Prakondisi bagi riset-konstruktif harus dimulai dari penyediaan basic science, dilegalkan dalam kurikulum, lalu mendapatkan eksplorasi pematangan dalam laboratorium. Inkoherensi dalam memperlakukan ketiga hal tersebut menunjukkan bahwa kritisisme tak cukup berdaya, prakondisi bersifat chaos. Sungguh memprihatinkan bahwa progdi arsitektur terus memupuk inkoherensi ini dan tak berupaya beranjak dari asumsi-asumsi konvensionalnya. Terdapat peluang besar bahwa inkapabilitas progdi arsitektur dalam menyelesaikan isu-isu geosfer dapat saja diambil-alih oleh disiplin lain (kasus optional subject), sehingga signifikansi progdi arsitektur semakin absurd dalam konstelasi riset-konstruktif. Restrukturisasi harus diupayakan sesegera mungkin sehingga progdi arsitektur tetap eksis dalam ekosistem pengetahuan.


No comments:

Post a Comment