PERTIMBANGAN KARAKTERISTIK PENGHUNI PADA PERANCANGAN
RUMAH YANG DIBANGUN SECARA MASSAL. Pada kompleks perumahan
yang dibangun secara massal seringkali penghuni melakukan perombakan rumah
mereka sesuai dengan kebutuhan dan keinginanya untuk mewujudkan jatidirinya.
Sehingga terjadi pemborosan akibat dari banyaknya elemen-elemen arsitektural
yang terpaksa harus dibongkar atau diubah pada saat renovasi dilakukan agar
sesuai dengan keinginan tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi
pemborosan tersebut adalah dengan melihat kecenderungan-kecenderungan pada saat
seseorang melakukan perombakan rumahnya. Berdasarkan penelitian mengenai
hubungan antara karakteristik penghuni kompleks perumahan dengan sub tipologi
bangunan rumahnya, dapat diketahui bahwa pada golongan penghasilan tingkat
menengah pertimbangan tingkat privasi, pengelompokan ruang dan tingkat
fleksibilitas ruang menjadi faktor penentu utama pada perombakan tersebut.
Sedangkan fasade bangunan walaupun mengalami penyesuaian, namun tidak secara
signifikan mempengaruhi pertimbangan perombakan yang dilakukan. Oleh sebab itu
apabila perancangan rumah pada industri perumahan massal dapat mempertimbangkan
karakteristik penghuninya terutama dari sisi perilaku mereka saat melakukan
perombakan rumahnya, maka tidak akan terjadi pemborosan yang tidak perlu.
Kata
Kunci: rumah, massal, karakteristik penghuni
PENDAHULUAN
Sejak
krisis ekonomi industri perumahan mengalami keterpurukan. Hal ini disebabkan
adanya kenaikan bahan baku yang sangat tinggi dan keterbatasan subsidi yang
diberikan oleh pihak pemerintah yang praktis terhenti total. Imbas krisis
ekonomi menyebabkan makin terbatasnya anggaran pemerintah yang diberikan kepada
masyarakat untuk memperoleh rumah lewat kebijakan KPR-BTN. Di samping itu juga
lesunya industri perumahan diperparah dengan adanya penurunan daya beli
masyarakat akan perumahan karena mahalnya biaya kebutuhan yang harus mereka
cukupi. Sehingga pertimbangan efisiensi dari sudut ekonomi perlu benar-benar
diterapkan dalam industri perumahan, tidak saja bagi pengembang tapi terutama
bagi penghuni ataupun calon penghuni.
Sementara
itu disain perumahan secara massal biasanya didisain dengan hanya menawarkan
beberapa tipe rumah saja dalam setiap kompleks kawasan. Walaupun hal itu
sebenarnya bertujuan agar
tercapai efisiensi pada saat pembangunan sehingga
dapat menekan biaya rumah per unitnya (unit cost), namun pada kenyataannya
efisensi tersebut hanya dirasakan oleh pengembangnya. Bagi penghuni atau calon
penghuni justru yang terjadi sebaliknya, pemborosan. Dalam suatu penelitian
pada suatu kompleks perumahan yang dilakukan oleh Budihardjo (2000) dan
kemudian dikembangkan oleh Setyawati dan Pudianti (2002) telah dibuktikan bahwa
setiap keluarga yang memiliki dan tinggal pada sebuah rumah yang dibangun
secara massal mempunyai kecenderungan untuk mengadakan perubahan rumahnya, baik
hanya untuk sekedar menambah luasan ruang, maupun perubahan dan penggantian
fasade bangunan.Proses inilah yang menyebabkan rumah massal menjadi kurang
efisien.
Perubahan
rumah seperti yang dilakukan oleh sebagian besar penghuni rumah massal tersebut
sebenarnya merupakan hal yang sangat wajar mengingat bahwa rumah merupakan
suatu sarana yang dapat digunakan untuk mewujudkan jati diri penghuninya,
sehingga seharusnya setiap rumah memiliki disain yang khas sesuai dengan
karakteristik penghuninya. Oleh karena itulah perlu diupayakan disain rumah
massal yang sungguh membawa manfaat efisiensi, baik bagi pengembang maupun bagi
penghuni atau calon penghuninya.
KARAKTERISTIK PENGHUNI
DAN TIPOLOGI RUMAH
Ada
berbagai alasan yang dilakukan keluarga berkaitan dengan perubahan-perubahan
yang dilakukan pada rumah massal tersebut. Jika mengacu pada penelitian
(Turner, 1972) hal itu disebabkan karema perbedaan prioritas kebutuhan yang
dapat dikelompokkan ke dalam tiga klasifikasi, yaitu : kebutuhan akan
pemanfaatan kesempatan, kebutuhan akan keamanan, dan kebutuhan akan identitas
diri. Prioritas kebutuhan dibedakan antara keluarga yang satu dengan keluarga
yang lainnya berdasarkan tingkat penghasilan yang diperoleh masing-masing
keluarga. Keadaan seperti inilah yang kemudian akan membedakan ekspresi rumah
pada setiap keluarga.
Lebih
jauh lagi perbedaan ekspresi rumah ternyata berkontribusi terhadap tingkat
kepuasan manusia berdasarkan enam kebutuhan dasar manusia dari Maslow (Newmark,
1977). Adapun keenam kebutuhan dasar tersebut adalah sebagai berikut :
kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan ego atau
kebanggaan pribadi, dan kebutuhan aktualisasi. Terkait dengan perumahan
sebenarnya masih ada hal lain di luar kebutuhan yang lebih sulit untuk
diidentifikasikan yaitu adanya keinginan dan gaya hidup.
Ekspresi
rumah dapat dilihat salah satunya dari karakter tatanan ruangnya, sedangkan
karakter tatanan ruang (Lang, 1987) dapat dilihat berdasarkan pengelompokan
ruang atau teritori ruang, tingkat privasi, dan fleksibilitas ruang
(adaptability). Dengan menggunakan definisi tersebut penelitian Setyawati dan
Pudianti (2002) mencoba mengidentifikasi karakter tatanan ruang pada perumahan
setelah penghuni melakukan perombakan rumahnya. Hal ini dimaksudkan untuk
melihat kebutuhan penghuni dalam mengekspresikan jatidirinya. Pengelompokan
ruang dianalisis menurut tingkat konsistensi pengelompokan ruang yang ada
setelah perombakan rumah. Tingkat privasi dianalisis dengan melihat tingkat
privasi yang terjadi antar kelompok ruang tersebut. Sedangkan tingkat
fleksibilitas ruang dibedakan menurut tingkat kemungkinan adaptasi ruang
terhadap kegiatan-kegiatan yang bersifat insidentil yang biasanya membutuhkan
ruang dengan luasan yang cukup besar. Hasil distribusi variasi tipologi dengan
menggunakan variabel-variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel.
1 Distribusi Variasi Tipologi Bangunan Dari Sisi Penataan Ruang
Sumber : Data Primer Diolah
Tahun 2002
Terungkap
di situ, bahwa pemahaman akan pentingnya pengelompokkan ruang cukup dimiliki
oleh responden pada umumnya (0% rumah yang memiliki pengelompokan ruang kurang
baik). Namun kebutuhan akan pentingnya tingkat privacy belumlah menjadi prioritas
(17,89% memiliki tingkat privacy kurang baik). Dilain pihak terbukti bahwa
sebagian besar rumah
dikembangkan
dengan tingkat fleksibilitas ruang yang cukup baik 50,53% dan baik 31,58%,
sehingga dapat disimpulkan bahwa ada kebutuhan yang cukup tinggi untuk memiliki
rumah dengan pertimbangan fleksibilitas ruang. Hal ini dapat dimengerti
mengingat bahwa, pertama, ada kebutuhan untuk berinteraksi dengan masyarakat di
sekitar melalui pertemuan-pertemuan dalam sejumlah besar orang dan, kedua,
adanya keterbatasan lahan untuk dapat mengakomodasi kegiatan-kegiatan
insidentil tersebut yang membutuhkan ruang yang cukup besar sehingga alternatif
menata ruang yang fleksibel menjadi pilihan. Berdasarkan pertimbangan itulah,
maka pada perumahan sejenis ini diperlukan perancangan rumah yang memiliki
tingkat fleksibitas ruang yang cukup tinggi.
EVALUASI MODEL DENAH
RUMAH MASSAL
Lesunya
industri perumahan saat ini diperparah dengan adanya penurunan daya beli
masyarakat akan perumahan karena mahalnya biaya kebutuhan yang harus mereka
cukupi. Padahal jika diperhatikan secara lebih mendalam industri perumahan
dapat dijadikan lokomotif roda perekonomian (Lukita dalam Kompas, 2001).
Mengapa demikian? karena apabila industri perumahan bergerak maka akan segera
secara serentak bisa menarik gerbong-gerbong kegiatan ekonomi lainnya. Ini
dapat terjadi sebab hampir semua bahan baku untuk industri perumahan seperti
semen, kapur, pasir, batu bata, kusen, kaca, paku, ubin dan lain sebagainya,
praktis kini sudah bisa diproduksi oleh industri-industri di dalam negeri.
Awalnya
industri perumahan massal dibangun untuk mengakomodasi dan memfasilitasi
masyarakat golongan menengah ke bawah yang belum memiliki rumah. Ini dapat
dilihat dari tingginya daya jual rumah tipe RS/RSS sebelum krisis ekonomi
terjadi. Daya beli masyarakat menengah ke bawah akan perumahan pada saat itu
tinggi dengan dipicu adanya pemberian subsidi melalui KPR-BTN. Namun setelah
krisis ekonomi terjadi tingkat suku bunga yang tinggi menyebabkan berubahnya
kepemilikan perumahan yang lambat-laun bergeser pada masyarakat golongan
menengah ke atas, yang nota bene mereka memiliki akses ekonomi yang lebih baik
dari golongan di bawahnya dan memiliki kecenderungan untuk melakukan perombakan
rumah sebagai upaya penampilan identitas diri dan ekspresi simbolisasi status
sosial ekonomi mereka.
Berdasarkan
penelitian Setyawati dan Anna (2002) penghasilan keluarga penghuni rumah massal
dengan mempertimbangkan pengeluaran keluarga berkisar antara Rp1.000.000 -
Rp4.000.000 dengan distribusi terbesar pada Rp1.000.000 - Rp2.000.000 (48%),
sedangkan pertimbangan yang diambil untuk memilih tempat tinggal di perumahan
adalah sebagai berikut : a) senang dengan suasananya (59%), b) senang dengan
fasilitasnya (15%), c) mudah cara membeli dan memperolehnya (39%), d) terpaksa
karena tidak ada pilihan lainnya (12%), e) lainnya di luar item tersebut (9%).
Jadi memang terbukti bahwa golongan menengahlah konsumen terbesar industri
rumah saat ini.
Terbatasnya
daya beli masyarakat menyebabkan pula keterbatasan tipe rumah yang ditawarkan.
Luasan rumah massal untuk golongan menengah biasanya berkisar antara tipe 36 m2
sampai dengan 54 m2. Dengan asumsi rumah tersebut nantinya akan tumbuh dan
berkembang sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan karakteristik penghuninya.
Namun disain yang dibuat oleh pengembang biasanya justru tidak terlalu peduli
dengan karakteristik penghuni, sehingga pengembangan rumah tidak dapat
meminimalkan elemen-elemen arsitektural yang terbuang.
Jika
dibandingkan dengan uraian sebelumnya mengenai karakteristik penghuni dan
pengaruhnya pada tipologi rumah, maka model disain yang dirancang pihak
pengembang tersebut tidak secara terpadu mempertimbangkan kemungkinan
pengembangan rumah oleh penghuni. Contoh perbandingan ini dapat dilihat pada
gambar 2. Dari gambar tersebut terlihat bahwa terjadi pengembangan rumah yang
terpaksa harus membuang dan atau mengganti beberapa elemen arsitektural seperti
tembok A yang harus dibongkar, kemudian tembok B digeser, pintu C dan pintu D
harus digeser dan lainnya. Dan perombakan ruang tersebut bertujuan untuk
mendapatkan ruang yang cukup lebar antara ruang tamu dan ruang keluarga yang
sewaktu-waktu dibutuhkan dapat digunakan untuk menampung sejumlah besar orang
pada ruang tersebut dan juga menghasilkan ruang yang terlihat lebih leluasa,
walaupun harus mengorbankan tingkat privasi pada ruang tidur 1. Hal ini
diperkuat dari alasan responden untuk merombak rumahnya pada tabel 3. Terlihat
pada
Gambar
2 Perbandingan Denah Rumah Asli dengan Pengembangan Yang Dilakukan
Sumber : data primer diolah
tahun 2002
tabel
tersebut bahwa 35% responden menyatakan bahwa alasan mereka merombak pembagian
ruangan karena ingin mendapatkan ruang yang lebih luas (fleksibilitas ruang),
dan 14% menyatakan karena pembagian ruangnya tidak sesuai dengan selera dan
kebutuhan keluarga, 5% dan 2% dengan alasan lebih nyaman dan nampak asri.
Dari
tabel 3 tersebut juga tampak bahwa 22% responden merombak pembagian ruangan
dengan alasan jumlah ruang yang kurang, sehingga selain pertimbangan
fleksibilitas ruang perlu juga dipikirkan dalam disain kemungkinan
mengembangkan rumah dengan menambah jumlah ruang tanpa harus banyak mengubah
ruang atau elemen arsitektural yang ada.
Tabel
3 Alasan Merombak Pembagian Ruangan
Sumber
: data primer diolah tahun 2002
Gambar
4 menunjukkan salah satu contoh disain rumah yang dilakukan pengembang dengan
memperhatikan fleksibilitas ruang dan seminimal mungkin menghilangkan atau
mengganti elemen arsitektural pada saat dilakukan penambahan atau perombakan
ruang.
Gambar
4 Contoh Desain Tipe 45 Yang Mempertimbangkan Fleksibilitas Ruang
Sumber
: data primer diolah tahun 2002
Gambar
5 Pengembangan Jumlah Ruang
Sumber
: data primer diolah tahun 2002
PENUTUP
Berdasarkan
temuan penelitian mengenai karakteristik penghuni perumahan massal dan tipologi
perumahannya dapat disimpulkan bahwa penghuni perumahan massal di Indonesia
secara umum dan khususnya di Yogyakarta membutuhkan ruang yang fleksibel untuk
mewadahi kegiatan pertemuan antar anggota masyarakat. Sehingga disain rumah
massal juga harus memperhatikan kemungkinan tersebut dalam perancangannya.
Selain
itu mengingat bahwa rumah massal saat ini lebih berorientasi pada daya beli
masyarakat sehingga hanya dapat menyediakan tipe rumah yang relatif kecil, maka
disain rumah tersebut juga harus mempertimbangkan kemungkinan pertambahan
jumlah ruang (rumah tumbuh), dengan sesedikit mungkin mengubah atau mengganti
elemen arsitektural pada rumah awal.
No comments:
Post a Comment