Wednesday 30 December 2015

Pertimbangan karakteristik penghuni pada perancangan rumah yang dibangun secara massal

PERTIMBANGAN KARAKTERISTIK PENGHUNI PADA PERANCANGAN RUMAH YANG DIBANGUN SECARA MASSAL. Pada kompleks perumahan yang dibangun secara massal seringkali penghuni melakukan perombakan rumah mereka sesuai dengan kebutuhan dan keinginanya untuk mewujudkan jatidirinya. Sehingga terjadi pemborosan akibat dari banyaknya elemen-elemen arsitektural yang terpaksa harus dibongkar atau diubah pada saat renovasi dilakukan agar sesuai dengan keinginan tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pemborosan tersebut adalah dengan melihat kecenderungan-kecenderungan pada saat seseorang melakukan perombakan rumahnya. Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara karakteristik penghuni kompleks perumahan dengan sub tipologi bangunan rumahnya, dapat diketahui bahwa pada golongan penghasilan tingkat menengah pertimbangan tingkat privasi, pengelompokan ruang dan tingkat fleksibilitas ruang menjadi faktor penentu utama pada perombakan tersebut. Sedangkan fasade bangunan walaupun mengalami penyesuaian, namun tidak secara signifikan mempengaruhi pertimbangan perombakan yang dilakukan. Oleh sebab itu apabila perancangan rumah pada industri perumahan massal dapat mempertimbangkan karakteristik penghuninya terutama dari sisi perilaku mereka saat melakukan perombakan rumahnya, maka tidak akan terjadi pemborosan yang tidak perlu.
Kata Kunci: rumah, massal, karakteristik penghuni

PENDAHULUAN
Sejak krisis ekonomi industri perumahan mengalami keterpurukan. Hal ini disebabkan adanya kenaikan bahan baku yang sangat tinggi dan keterbatasan subsidi yang diberikan oleh pihak pemerintah yang praktis terhenti total. Imbas krisis ekonomi menyebabkan makin terbatasnya anggaran pemerintah yang diberikan kepada masyarakat untuk memperoleh rumah lewat kebijakan KPR-BTN. Di samping itu juga lesunya industri perumahan diperparah dengan adanya penurunan daya beli masyarakat akan perumahan karena mahalnya biaya kebutuhan yang harus mereka cukupi. Sehingga pertimbangan efisiensi dari sudut ekonomi perlu benar-benar diterapkan dalam industri perumahan, tidak saja bagi pengembang tapi terutama bagi penghuni ataupun calon penghuni.
Sementara itu disain perumahan secara massal biasanya didisain dengan hanya menawarkan beberapa tipe rumah saja dalam setiap kompleks kawasan. Walaupun hal itu sebenarnya bertujuan agar
tercapai efisiensi pada saat pembangunan sehingga dapat menekan biaya rumah per unitnya (unit cost), namun pada kenyataannya efisensi tersebut hanya dirasakan oleh pengembangnya. Bagi penghuni atau calon penghuni justru yang terjadi sebaliknya, pemborosan. Dalam suatu penelitian pada suatu kompleks perumahan yang dilakukan oleh Budihardjo (2000) dan kemudian dikembangkan oleh Setyawati dan Pudianti (2002) telah dibuktikan bahwa setiap keluarga yang memiliki dan tinggal pada sebuah rumah yang dibangun secara massal mempunyai kecenderungan untuk mengadakan perubahan rumahnya, baik hanya untuk sekedar menambah luasan ruang, maupun perubahan dan penggantian fasade bangunan.Proses inilah yang menyebabkan rumah massal menjadi kurang efisien.
Perubahan rumah seperti yang dilakukan oleh sebagian besar penghuni rumah massal tersebut sebenarnya merupakan hal yang sangat wajar mengingat bahwa rumah merupakan suatu sarana yang dapat digunakan untuk mewujudkan jati diri penghuninya, sehingga seharusnya setiap rumah memiliki disain yang khas sesuai dengan karakteristik penghuninya. Oleh karena itulah perlu diupayakan disain rumah massal yang sungguh membawa manfaat efisiensi, baik bagi pengembang maupun bagi penghuni atau calon penghuninya.

KARAKTERISTIK PENGHUNI DAN TIPOLOGI RUMAH
Ada berbagai alasan yang dilakukan keluarga berkaitan dengan perubahan-perubahan yang dilakukan pada rumah massal tersebut. Jika mengacu pada penelitian (Turner, 1972) hal itu disebabkan karema perbedaan prioritas kebutuhan yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga klasifikasi, yaitu : kebutuhan akan pemanfaatan kesempatan, kebutuhan akan keamanan, dan kebutuhan akan identitas diri. Prioritas kebutuhan dibedakan antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya berdasarkan tingkat penghasilan yang diperoleh masing-masing keluarga. Keadaan seperti inilah yang kemudian akan membedakan ekspresi rumah pada setiap keluarga.
Lebih jauh lagi perbedaan ekspresi rumah ternyata berkontribusi terhadap tingkat kepuasan manusia berdasarkan enam kebutuhan dasar manusia dari Maslow (Newmark, 1977). Adapun keenam kebutuhan dasar tersebut adalah sebagai berikut : kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan ego atau kebanggaan pribadi, dan kebutuhan aktualisasi. Terkait dengan perumahan sebenarnya masih ada hal lain di luar kebutuhan yang lebih sulit untuk diidentifikasikan yaitu adanya keinginan dan gaya hidup.
Ekspresi rumah dapat dilihat salah satunya dari karakter tatanan ruangnya, sedangkan karakter tatanan ruang (Lang, 1987) dapat dilihat berdasarkan pengelompokan ruang atau teritori ruang, tingkat privasi, dan fleksibilitas ruang (adaptability). Dengan menggunakan definisi tersebut penelitian Setyawati dan Pudianti (2002) mencoba mengidentifikasi karakter tatanan ruang pada perumahan setelah penghuni melakukan perombakan rumahnya. Hal ini dimaksudkan untuk melihat kebutuhan penghuni dalam mengekspresikan jatidirinya. Pengelompokan ruang dianalisis menurut tingkat konsistensi pengelompokan ruang yang ada setelah perombakan rumah. Tingkat privasi dianalisis dengan melihat tingkat privasi yang terjadi antar kelompok ruang tersebut. Sedangkan tingkat fleksibilitas ruang dibedakan menurut tingkat kemungkinan adaptasi ruang terhadap kegiatan-kegiatan yang bersifat insidentil yang biasanya membutuhkan ruang dengan luasan yang cukup besar. Hasil distribusi variasi tipologi dengan menggunakan variabel-variabel tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel. 1 Distribusi Variasi Tipologi Bangunan Dari Sisi Penataan Ruang
Sumber : Data Primer Diolah Tahun 2002
Terungkap di situ, bahwa pemahaman akan pentingnya pengelompokkan ruang cukup dimiliki oleh responden pada umumnya (0% rumah yang memiliki pengelompokan ruang kurang baik). Namun kebutuhan akan pentingnya tingkat privacy belumlah menjadi prioritas (17,89% memiliki tingkat privacy kurang baik). Dilain pihak terbukti bahwa sebagian besar rumah

dikembangkan dengan tingkat fleksibilitas ruang yang cukup baik 50,53% dan baik 31,58%, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada kebutuhan yang cukup tinggi untuk memiliki rumah dengan pertimbangan fleksibilitas ruang. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa, pertama, ada kebutuhan untuk berinteraksi dengan masyarakat di sekitar melalui pertemuan-pertemuan dalam sejumlah besar orang dan, kedua, adanya keterbatasan lahan untuk dapat mengakomodasi kegiatan-kegiatan insidentil tersebut yang membutuhkan ruang yang cukup besar sehingga alternatif menata ruang yang fleksibel menjadi pilihan. Berdasarkan pertimbangan itulah, maka pada perumahan sejenis ini diperlukan perancangan rumah yang memiliki tingkat fleksibitas ruang yang cukup tinggi.

EVALUASI MODEL DENAH RUMAH MASSAL
Lesunya industri perumahan saat ini diperparah dengan adanya penurunan daya beli masyarakat akan perumahan karena mahalnya biaya kebutuhan yang harus mereka cukupi. Padahal jika diperhatikan secara lebih mendalam industri perumahan dapat dijadikan lokomotif roda perekonomian (Lukita dalam Kompas, 2001). Mengapa demikian? karena apabila industri perumahan bergerak maka akan segera secara serentak bisa menarik gerbong-gerbong kegiatan ekonomi lainnya. Ini dapat terjadi sebab hampir semua bahan baku untuk industri perumahan seperti semen, kapur, pasir, batu bata, kusen, kaca, paku, ubin dan lain sebagainya, praktis kini sudah bisa diproduksi oleh industri-industri di dalam negeri.
Awalnya industri perumahan massal dibangun untuk mengakomodasi dan memfasilitasi masyarakat golongan menengah ke bawah yang belum memiliki rumah. Ini dapat dilihat dari tingginya daya jual rumah tipe RS/RSS sebelum krisis ekonomi terjadi. Daya beli masyarakat menengah ke bawah akan perumahan pada saat itu tinggi dengan dipicu adanya pemberian subsidi melalui KPR-BTN. Namun setelah krisis ekonomi terjadi tingkat suku bunga yang tinggi menyebabkan berubahnya kepemilikan perumahan yang lambat-laun bergeser pada masyarakat golongan menengah ke atas, yang nota bene mereka memiliki akses ekonomi yang lebih baik dari golongan di bawahnya dan memiliki kecenderungan untuk melakukan perombakan rumah sebagai upaya penampilan identitas diri dan ekspresi simbolisasi status sosial ekonomi mereka.
Berdasarkan penelitian Setyawati dan Anna (2002) penghasilan keluarga penghuni rumah massal dengan mempertimbangkan pengeluaran keluarga berkisar antara Rp1.000.000 - Rp4.000.000 dengan distribusi terbesar pada Rp1.000.000 - Rp2.000.000 (48%), sedangkan pertimbangan yang diambil untuk memilih tempat tinggal di perumahan adalah sebagai berikut : a) senang dengan suasananya (59%), b) senang dengan fasilitasnya (15%), c) mudah cara membeli dan memperolehnya (39%), d) terpaksa karena tidak ada pilihan lainnya (12%), e) lainnya di luar item tersebut (9%). Jadi memang terbukti bahwa golongan menengahlah konsumen terbesar industri rumah saat ini.
Terbatasnya daya beli masyarakat menyebabkan pula keterbatasan tipe rumah yang ditawarkan. Luasan rumah massal untuk golongan menengah biasanya berkisar antara tipe 36 m2 sampai dengan 54 m2. Dengan asumsi rumah tersebut nantinya akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan karakteristik penghuninya. Namun disain yang dibuat oleh pengembang biasanya justru tidak terlalu peduli dengan karakteristik penghuni, sehingga pengembangan rumah tidak dapat meminimalkan elemen-elemen arsitektural yang terbuang.
Jika dibandingkan dengan uraian sebelumnya mengenai karakteristik penghuni dan pengaruhnya pada tipologi rumah, maka model disain yang dirancang pihak pengembang tersebut tidak secara terpadu mempertimbangkan kemungkinan pengembangan rumah oleh penghuni. Contoh perbandingan ini dapat dilihat pada gambar 2. Dari gambar tersebut terlihat bahwa terjadi pengembangan rumah yang terpaksa harus membuang dan atau mengganti beberapa elemen arsitektural seperti tembok A yang harus dibongkar, kemudian tembok B digeser, pintu C dan pintu D harus digeser dan lainnya. Dan perombakan ruang tersebut bertujuan untuk mendapatkan ruang yang cukup lebar antara ruang tamu dan ruang keluarga yang sewaktu-waktu dibutuhkan dapat digunakan untuk menampung sejumlah besar orang pada ruang tersebut dan juga menghasilkan ruang yang terlihat lebih leluasa, walaupun harus mengorbankan tingkat privasi pada ruang tidur 1. Hal ini diperkuat dari alasan responden untuk merombak rumahnya pada tabel 3. Terlihat pada
Gambar 2 Perbandingan Denah Rumah Asli dengan Pengembangan Yang Dilakukan
Sumber : data primer diolah tahun 2002

tabel tersebut bahwa 35% responden menyatakan bahwa alasan mereka merombak pembagian ruangan karena ingin mendapatkan ruang yang lebih luas (fleksibilitas ruang), dan 14% menyatakan karena pembagian ruangnya tidak sesuai dengan selera dan kebutuhan keluarga, 5% dan 2% dengan alasan lebih nyaman dan nampak asri.
Dari tabel 3 tersebut juga tampak bahwa 22% responden merombak pembagian ruangan dengan alasan jumlah ruang yang kurang, sehingga selain pertimbangan fleksibilitas ruang perlu juga dipikirkan dalam disain kemungkinan mengembangkan rumah dengan menambah jumlah ruang tanpa harus banyak mengubah ruang atau elemen arsitektural yang ada.
Tabel 3 Alasan Merombak Pembagian Ruangan
Sumber : data primer diolah tahun 2002
Gambar 4 menunjukkan salah satu contoh disain rumah yang dilakukan pengembang dengan memperhatikan fleksibilitas ruang dan seminimal mungkin menghilangkan atau mengganti elemen arsitektural pada saat dilakukan penambahan atau perombakan ruang.
Gambar 4 Contoh Desain Tipe 45 Yang Mempertimbangkan Fleksibilitas Ruang
Sumber : data primer diolah tahun 2002

Gambar 5 Pengembangan Jumlah Ruang
Sumber : data primer diolah tahun 2002

PENUTUP
Berdasarkan temuan penelitian mengenai karakteristik penghuni perumahan massal dan tipologi perumahannya dapat disimpulkan bahwa penghuni perumahan massal di Indonesia secara umum dan khususnya di Yogyakarta membutuhkan ruang yang fleksibel untuk mewadahi kegiatan pertemuan antar anggota masyarakat. Sehingga disain rumah massal juga harus memperhatikan kemungkinan tersebut dalam perancangannya.
Selain itu mengingat bahwa rumah massal saat ini lebih berorientasi pada daya beli masyarakat sehingga hanya dapat menyediakan tipe rumah yang relatif kecil, maka disain rumah tersebut juga harus mempertimbangkan kemungkinan pertambahan jumlah ruang (rumah tumbuh), dengan sesedikit mungkin mengubah atau mengganti elemen arsitektural pada rumah awal.


No comments:

Post a Comment