SURFAKTAN YANG DAPAT TERPOLIMERISASI: PELUANG PEMANFAATANNYA DALAM
INDUSTRI. Surfaktan berasal dari singkatan surface active agent (agen
aktif permukaan) yang secara bahasa berarti aktif pada permukaan. Surfaktan
dibutuhkan dalam suatu proses / operasi seperti pada proses pembentukan emulsi
cat. Setelah proses tersebut surfaktan kadang-kadang tidak dibutuhkan lagi,
bahkan dapat bersifat negatif terhadap proses selanjutnya dan bersifat
mengganggu lingkungan hidup karena sifatnya yang sulit diuraikan. Surfaktan
yang dapat terpolimerisasi (polymerizable surfactant) dapat memecahkan masalah
ini. Polimerisasi surfaktan terjadi pada tahap setting dan curing. Metoda
terbaik polimerisasi surfaktan adalah dengan mereaksikan surfaktan dengan
monomer atau binder. Kegunaan metoda ini adalah dalam aplikasi emulsi alkyd,
polimerisasi emulsi, dan modifikasi permukaan.
Kata kunci: surfaktan yang dapat terpolimerisasi (polymerizable
surfactant), surfaktan reaktif, polimerisasi, kopolimer, monomer
Pendahuluan
Surfaktan berasal dari
istilah bahasa Inggris surfactant yang merupakan singkatan dari surface
active agent. Arti literalnya adalah aktif pada permukaan. Dengan kata lain
sifat surfaktan ditandai oleh kecenderungan berada pada permukaan dan
antarfasa. Antarfasa adalah batas antara dua fasa yang tidak saling campur;
sedangkan permukaan menunjukkan bahwa salah satu dari dari fasa adalah gas
(biasanya udara). Ada lima antarfasa yang mungkin terbentuk:
• Padat-uap (permukaan)
• Padat-cair
• Padat-padat
• Cair-uap (permukaan)
• Cair-cair
Surfaktan cenderung
mengadsorpsi permukaan untuk menurunkan energi bebas pada perbatasan antarfasa.
Surfaktan dapat mengadsorpsi pada kelima jenis permukaan tersebut. Surfaktan
yang sering diterapkan dalam industri adalah
antarfasa cair (cair-padat, cair-uap, cair-cair).
antarfasa cair (cair-padat, cair-uap, cair-cair).
Beberapa antarfasa dapat muncul secara bersamaan pada banyak
produk formulasi, Contohnya cat berbasis air (water-borne/water-based).
Dalam sistem cat berbasis air muncul tiga antarfasa yaitu: padat-cair (dispersi
partikel pigmen), cair-cair (antar fasa emulsi), dan sistem cair-uap (busa yang
tidak diinginkan, tetapi dapat terbentuk). Semua antarfasa tersebut distabilkan
dengan surfaktan (Jönsson, 1998) (Lihat Gambar 1). Surfaktan memainkan
peran kunci dalam produksi dan penerapan polimer dispersi. Surfaktan sangat
penting dalam pertumbuhan partikel latex, pengemulsian tetesan monomer
berserta polimer yang sudah jadi, dan penstabilan pertikel polimer selama
polimerisasi dan selama penyimpanan produk latex (Asua, 1998).
Surfaktan memainkan
peran kunci dalam produksi dan penerapan polimer dispersi. Surfaktan sangat
penting dalam pertumbuhan partikel latex, pengemulsian tetesan monomer
berserta polimer yang sudah jadi, dan penstabilan pertikel polimer selama
polimerisasi dan selama penyimpanan produk latex (Asua, 1998).
Surfaktan - dalam banyak kasus- diperlukan pada tahap tertentu
operasi, tetapi tidak diperlukan lagi pada tahap selanjutnya. Sebagai contoh
kasus adalah pada aplikasi cat. Pada tahap pembuatan emulsi cat, surfaktan
dibutuhkan sebagai emulsifier untuk binder (pendispersi pigmen dan agen
pembasah substrat). Sebaliknya pada cat yang sudah kering surfaktan tidak
dibutuhkan lagi, bahkan dapat menimbulkan masalah. Walaupun surfaktan dapat
berdampak positif, yaitu membuat lapisan cat menjadi lunak dan fleksibel
(karena surfaktan bertindak sebagai bahan pemlastis pada lapisan cat), tetapi
dampak negatif surfaktan lebih besar yaitu surfaktan bermigrasi dari fasa utama
menuju permukaan. Jumlah surfaktan pada lapisan tipis permukaan dapat mencapai
konsentrasi 50% walaupun konsentrasi secara keseluruhan pada bahan hanya
sekitar 1%. Akibatnya permukaan cat menjadi lengket, tidak tahan air, tidak
tahan bahan kimia, serta menjadi sulit untuk dicat ulang (Jönsson, 1998).
Gambar
1. Ilustrasi sederhana surfaktan yang dapat terpolimerisasi
Grade (2001) menjelaskan bahwa ada tiga persoalan utama penggunaan
surfaktan pada formulasi emulsi (latex) yaitu:
a.
Stabilitas: gaya dari luar dapat mengakibatkan surfaktan terserap pada
permukaan lateks. Surfaktan biasa, seperti sodium dodecyl sulfate, dalam
kondisi gaya geser tinggi cenderung terdesorpsi, sehingga surfaktan tidak lagi
melindungi latex dari flokulasi (Guyot, 2002).
b.
Perlindungan (proteksi): adanya surfaktan pada lapisan film padat meningkatkan
kerentanan permukaan terhadap air. Air dapat dengan mudah berdifusi ke lapisan
film mengakibatkan pembengkakan permukaan film.
c.
Penampakan: adanya surfaktan mengurangi tingkat kekilatan lapisan, mempermudah
menempelnya kotoran pada lapisan, dan memucatkan lapisan pada kondisi lembab.
Selain itu masih ada masalah lain yang berhubungan dengan operasi
yaitu recovery polimer dengan koagulasi surfaktan dapat berdampak negatif pada
pengolahan limbah cair (Asua, 1998).
Salah satu cara mengurangi jumlah surfaktan ialah dengan
menggantikan surfaktan dengan monomer fungsional seperti asam akrilat, asam
metakrilat, akrilamida, metakrilamida dan turunannya, monomer tersulfonasi
(seperti 2-sulfoethyl methacrylate, sulfopropyl acrylamide, dan styrene
sulfonate). Walaupun demikian komonomer yang cukup besar masih diperlukan untuk
memperoleh tingkat kestabilan yang cukup tinggi. Selain itu polimer bersifat
larut dalam air sehingga menghasilkan pengaruh samping yang buruk (Asua, 1998).
Untuk mengatasi masalah di atas surfaktan perlu dihilangkan dari
campuran emulsi, yaitu dengan cara menghidrolisis surfaktan (menghilangkan sifat
surfaktan) atau dengan mempolimerisasi surfaktan. Secara umum kedua surfaktan
ini dapat disebut surfaktan reaktif (reactive surfactants) yaitu
surfactant yang dapat bereaksi setelah fungsinya selesai. Surfaktan yang dapat
dihidrolisis populer pada aplikasi kosmetika, sedangkan surfaktan yang dapat
terpolimerisasi (polymerizable surfactant) mulai berkembang dan telah
diaplikasikan pada emulsi alkyd, polimerisasi emulsi dan suspensi, serta
modifikasi permukaan. (Jönsson, 1998). Tinjauan tentang surfaktan yang dapat
dihidrolisis di luar konteks pembahasan tulisan ini.
Proses polimerisasi emulsi
dan suspensi digunakan dalam banyak produk polimer. Di antara produk-produk
tersebut beberapa jenis dispersi polimer dalam produksi yang memerlukan
surfaktan reaktif. Dispersi polimer digunakan dalam penerapan yang luas,
seperti karet sintetik, cat, lem, dan binder untuk kain non tenun, aditif pada
kertas dan tekstil, pengolahan kulit, modifikasi impak untuk matriks polimer,
aditif bahan konstruksi, flocculant, modifikasi rheologi. Selain itu
dispersi polimer juga digunakan pada penerapan biomedis dan farmasi (contoh
pada pengujian diagnostik dan sistem pengantaran obat dalam tubuh) (Asua,
1998).
Pertumbuhan dispersi polimer dalam industri sangat cepat,
disebabkan tiga hal:
1.
Kepedulian lingkungan dan peraturan pemerintah yang mengakibatkan perlunya
penggantian sistem berbasis solven dengan sistem berbasis air;
2.
Dispersi polimer (latex) mempunyai sifat yang memenuhi persyaratan
penerapan yang cukup luas; dan
3.
Dibandingkan proses polimerisasi lainnya polimerisasi emulsi mempunyai banyak
keuntungan nyata dari sudut pandang kemudahan pengendalian operasi proses dan
sifat produk. Dispersi polimer dapat diproduksi melalui beberapa proses
termasuk polimerisasi emulsi, polimerisasi emulsi terbalik (inverse emulsion
polymerization), polimerisasi dispersi, polimerisasi miniemulsi,
polimerisasi mikroemulsi, dan pengemulsian polimer yang telah jadi. Sejauh ini
polimerisasi emulsi merupakan proses produksi polimer dispersi yang paling
umum.
Pertumbuhan surfaktan yang dapat terpolimerisasi (surfaktan
reaktif) selama beberapa tahun terakhir juga sangat cepat. Hasil pencarian
paten di United States Patent Office menunjukkan bahwa pencarian istilah
surfaktan reaktif untuk dokumen paten sejak tahun 1996-2002 menghasilkan 89
hits. Lebih dari 50% jumlah tersebut didaftarkan setelah tahun 2000. Aplikasi
paten mulai dari pelapis permukaan, polimerisasi emulsi, pembuatan partikel
nano, lem, tinta inkjet, teknologi cetak anti pemalsuan dokumen,
pelapisan logam, dan sebagainya1. Bahkan sudah muncul enam produk komersial
surfaktan reaktif2 antara lain Aldrich3 dan Uniqema4, dan
banyak perusahaan besar telah mematenkan surfakan reaktif serta akan
meluncurkan serangkaian produk surfaktan reaktif.
Masyarakat Uni Eropa sejak tahun 1993 telah memberikan perhatian
khusus pada pengembangan surfaktan reaktif yang tercakup dalam proyek jangka
panjang yang melibatkan puluhan universitas, peneliti, dan industri terkemuka
di Eropa. Bagian pertama penelitian tersebut telah dilaksanakan pada tahun
1993-1996, sedangkan bagian kedua yang meneliti polimer pada adhesi dan
perlakuan permukaan (surface treatment) dimulai pada Desember 1997 dan
selesai pada February 2001 (Guyot, 2002). Hasil penelitian cluster kedua
antara lain5:
1.
Sebagian besar aplikasi cat berbasis solven telah dapat digantikan dengan cat
berbasis air kecuali cat high gloss dengan mutu dan aliran yang baik serta cat
industri yang mementingkan kualitas tinggi.
2.
Cat berbasis air yang 100% tanpa solven masih jarang ditemukan karena masalah
masih tingginya temperatur transisi gelas film yang terbentuk.
3.
Trend pengembangan cat emulsi masa kini adalah usaha lebih lanjut untuk
mengurangi rintangan cat high gloss dengan cara membuat sambung-silang
(cross-link) pada emulsi setelah pembentukan film atau dengan menggunakan
emulsi inti dan cangkang, di mana inti bersifat keras sedangkan cangkang
bersifat lunak dan membentuk lapisan film.
4.
Perlunya penelitian lebih lanjut tentang penggunaan surfaktan yang dapat terpolimerisasi
atau surfaktan polimer.
Klasifikasi surfaktan yang dapat terpolimerisasi
Ada beberapa istilah lain
untuk surfaktan yang dapat terpolimerisasi yaitu surfaktan reaktif6 (reactive
surfactant) dan surfaktan tak berpindah (non-migratory surfactant),.
Penelitian tentang surfaktan reaktif telah dirintis sejak sekitar tahun 1990.
Surfaktan reaktif ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis
(Asua, 1998):
1.
kombinasi surfaktan dan initiator (inisurf);
2.
kombinasi surfaktan dan agen transfer (transurf);
3.
kombinasi surfaktan dan monomer (surfmer) dengan sebutan lain: polymerizable
surfactants, polymerizable emulsifiers, surface-active monomers,
monomeric emulsifiers, dan monomeric surfactants .
Beberapa kelemahan sistem surfaktan reaktif:
1.
Inisurf:
a.
kestabilan sistem tidak dapat diatur tersendiri dengan hanya mengatur
konsentrasi surfaktan reaktif tanpa mempengaruhi laju polimerisasi.
b.
Faktor efisiensi inisurf sangat rendah akibat cage effect.
2.
Transurf: kestabilan sistem tidak dapat diatur tersendiri dengan hanya mengatur
konsentrasi surfaktan reaktif tanpa mempengaruhi distribusi berat molekul. Saat
ini pemecahan masalah ini sedang diusahakan dengan mengunakan teknologi Revesible
Addition Fragmentation Chain-Transfer (RAFT)
Sedangkan surfmer cukup berhasil digunakan dalam aplikasi
polimerisasi emulsi. Ada tiga tipe surfmer yang potensial untuk aplikasi
komersial yaitu: polymerizable surfactant anionik, polymerizable
surfactant kopolimer balok non-ionik, dan sulfonated polybutadiene
surfactants.
Polymerizable surfactant anionik yang potensial untuk
aplikasi komersial berasal dari reaksi golongan monomer alkohol; seperti hydroxyethyl
methacrylate, hydroxy propylmethacrylate, hydroxybutylacrylate,
dan vinylbenzylalcohol; dengan maleic anhydride atau succinic
anhydride. Dua jenis surfactan dari reaksi addisi hydroxyethyl
methacrylate dengan maleic anhydride sudah beredar di pasaran
(Guyot, 2002). Selain itu Einecs dan Akzo Nobel Resins juga telah mematenkan polymerizable
surfactant anionik. Surfaktan tipe ini bahkan dapat diterapkan pada tinta
cetak, pelapisan kertas, dan pelapisan logam7.
Polymerizable surfactant kopolimer balok non-ionik
diproduksi dengan cara polimerisasi hidup anionik pembukaan cincin yang diikuti
oleh pemberian balok propyleneoxide dan diakhiri reaksi dengan gugus yang dapat
terpolimerisasi yang terikat pada atom halogen yang reaktif (Guyot, 2002).
Sulfonated polybutadiene surfactants telah
dipatenkan pada tahun 2000 oleh Max Planck Institute, tetapi kendala harga yang
tinggi masih menghalangi aplikasi surfaktan ini secara komersial.
Mekanisme polimerisasi surfaktan
Untuk mencapai performansi
optimal diperlukan pemahaman tentang mekanisme yang terjadi pada polimerisasi
heterogen dengan surfmer, dan penggunaan pengetahuan ini untuk memilih surfmer
yang tepat dan implementasi proses yang optimal.
Syarat-syarat yang harus dimiliki surmer untuk memperoleh
performansi optimal:
1. Surfmer yang digunakan termasuk surfaktan yang baik (harus
dapat menstabilkan partikel polimer dengan baik).
2. Surfmer memungkinkan derajat emulsifikasi tertentu pada
campuran monomer.
3. Konsentrasi Misel Kritis (CMC) surfmer harus serendah mungkin.
4. Surfmer harus dapat menghasilkan tahap nukleasi yang lancar dan
dapat diulang-ulang dengan mudah.
5. Surfmer harus tidak bereaksi terlalu dini.
6. Semua surfmer harus sudah beraksi dan terikat secara kimia pada
permukaan partikel.
Reaksi
polimerisasi surfaktan reaktif dapat diklasifikasikan dari berbagai sisi:
berdasarkan dari jenis monomernya (homopolimerisasi dan kopolimerisasi);
berdasarkan proses curing yang terjadi (autooksidasi dan
non-autooksidasi); dan berdasarkan posisi gugus yang terpolimerisasi
(hidrofilik dan lipofilik).
Polimerisasi pada formulasi
yang mengandung surfaktan reaktif dapat terjadi dengan cara homopolimerisasi
dan kopolimerisasi. Homopolimerisasi hanya terjadi jika konsentrasi surfaktan
ampifilik cukup tinggi. Pada kenyataannya, konsentrasi surfaktan terlalu rendah
untuk dapat mengalami reaksi homopolimerisasi pada fasa curah, sehingga
sebagian besar surfaktan reaktif merupakan monomer kopolimer. Satu lapis
surfaktan dapat mengalami homopolimerisasi jika terserap pada daerah antarfasa.
Lapisan palisade dapat terbentuk oleh adsorpsi dari permukaan larutan atau
dengan migrasi melalui film.
Kopolimerisasi dapat terjadi dalam fasa curah. Apabila ada dua
monomer yang bereaksi membentuk kopolimer, rasio reaktifitas antar monomer
sebaiknya kurang dari satu agar menghasilkan kopolimer selang-seling. Harga
rasio reaktifitas untuk kopolimerisasi monomer M1 dan surfaktan M2 sebaiknya
r1 <
1 dan r2<1,
r1=k11/k12, dan
r2=k22/k21, di
mana kmn adalah
konstanta laju reaksi untuk empat reaksi yang mungkin:
M1* + M1 → M1* laju=k11[M1*][M1]
M1* + M2 → M2*
laju=k12[M1*][M2]
M2* + M1 → M1*
laju=k21[M2*][M1]
M2* + M2 →
M2*
laju=k22[M2*][M2]
Reaksi
polimerisasi yang terjadi pada surfaktan reaktif dapat terjadi secara
autooksidasi atau dengan cara non-autooksidasi. Autooksidasi adalah reaksi curing
yang disebabkan oleh oksigen. Reaksi ini dapat terjadi pada fasa bulk
(kopolimerisasi) maupun pada satu lapis permukaan (homopolimerisasi). Contoh
dua surfaktan yang mampu mengalami reaksi ini adalah: ethoxylated monoethanolamide
dari asam linoleat dan ethoxylated dodecenyl succinic acid monoester dari
trymethylpropanediallyl ether. Polimerisasi non-autooksidasi mencakup curing
ultraviolet dan curing yang disebabkan panas dengan menggunakan
initiator radikal bebas seperti benzoyl peroxide dan potassium
persulfate. Seperti pada reaksi autooksidasi, baik fasa curah maupun
permukaan dapat mengalami curing. Contoh surfaktan yang dapat mengalami
polimerisasi non autoksidasi berasal dari gugus ester akrilat dan ester
metakrilat, seperti: ester metakrilat dari kopolimer balok ethylene oxide dan
butylene oxide berakhiran metil dan monododecylmonosulfopropyl
maleate.
Ada dua kemungkinan bagian yang reaktif pada surfaktan reaktif,
yaitu di bagian kepala (hidrofil) dan di bagian ujung (hidrofob). Distribusi
initiator pada fasa air dan fasa minyak sangat berpengaruh terhadap kecepatan
reaksi di bagian yang mengalami polimerisasi. Sebagai contoh apabila yang polimerisasi
terjadi di bagian ujung (hidrofob) maka initiator yang dipakai haruslah dari
jenis yang larut dalam minyak. Terjadinya crosslinking pada bagian hidrofil
harus dihindari apabila surfaktan masih menjalankan peran penstabil setelah
polimerisasi. Sedangkan pada kasus polimerisasi di bagian hidrofob harus
dihindari adanya adsorpsi surfaktan pada permukaan hidrofob.
Aplikasi surfaktan reaktif
a. Emulsi alkyd
Alkyd adalah bahan adhesive yang berasal dari asam tak
jenuh dan gliserol (Lapedes, 1978). Emulsi alkyd mencapai tingkat yang sangat
penting sebagai konsekuensi peraturan yang berpihak pada pelestarian lingkungan
(Wang, 2000). Hasil terbaik emulsifikasi diperoleh pada surfaktan non-ionik.
Jika dibandingkan dengan alkyd berbasis solven, formulasi emulsi alkyd kering
lebih lambat dan mempunyai sifat yang kurang baik. Lapisan keringnya biasanya
lebih lunak dan lebih rentan terhadap air. Penggunaan surfaktan reaktif bisa
mengatasi hal ini, contohnya asam lemah monoethanolamide ethoxylate yang
berbasis fraksi asam lemak yang sangat tak jenuh. Lapisan alkyd yang mengandung
surfaktan tipe ini kering lebih cepat dan lebih keras daripada surfaktan biasa
(Jönsson,1998).
b. Polimerisasi emulsi
Penggunaan surfaktan yang dapat terpolimerisasi mempunyai peluang
pasar yang sangat besar. Lebih dari dua juta ton polimer diproduksi tiap tahun
dengan cara polimerisasi emulsi (Grade, 2001). Surfaktan yang dapat
terpolimerisasi sangat menarik untuk digunakan dalam polimerisasi emulsi,
karena mempunyai banyak keuntungan seperti telah dijelaskan sebelumnya.
Keuntungan lain surfaktan yang dapat terpolimerisasi ialah dapat mengurangi
masalah foaming (busa) dan masalah adsorpsi kompetitif. Adsorpsi
kompetitif merupakan masalah serius dalam formulasi emulsi. Pelapisan (coating)
latex yang berpigmen mengandung berbagai antarfasa di mana surfaktan
dapat teradsorpsi seperti antar fasa binder-air, pigmen-ari, substrat-air, dari
udara-air. Selain itu molekul surfaktan dapat membentuk misel atau membentuk
gabungan bersama dengan bagian hidrofob dari thickener (Jönsson, 1998).
Bahan surfaktan dari gugus ester akrilat dan ester metakrilat
dapat digunakan sebagai surfaktan reaktif untuk pembuatan latex. Selain
itu turunan asam maleat sangat menarik karena tidak dapat mengalami
homopolimeriasasi pada termperatur normal. Surfaktan reaktif yang dipilih
sebaiknya mengalami kopolimerisasi daripada homopolimerisasi supaya tersebar
secara merata di seluruh bagian emulsi. Jika polimerisasi di fasa air terlalu
cepat polimer yang mengandung surfaktan lebih cenderung mengakhiri reaksi di
bagian serum daripada di bagian permukaan partikel. Sedangkan jika polimerisasi
surfaktan terlalu cepat maka surfaktan akan terkubur pada partikel polimer
sehingga emulsi akan kehilangan kestabilannya.
Kualitas latex dengan surfaktan yang dapat terpolimerisasi
sangat baik dibandingkan dengan surfaktan biasa terutama dilihat dari
kestabilan latex. Sufaktan tidak terdesorpsi ke permukaan sehingga latex tetap
mempunyai kestabilan yang tinggi walaupun latex diguyur dengan air
sejumlah 150 kali volume latex.
c. Modifikasi permukaan
Modifikasi
permukan padat dapat dilakukan dengan lapisan surfaktan yang teradsorpsi pada
permukaan. Molekul surfaktan yang ada di permukaan dapat mengalami sambung
silang sehingga lapisan tipis permukaan terbentuk. Kegunaan cara ini antara
lain untuk mengubah sifat permukaan hidrofob menjadi hidrofil dan sebaliknya
(hidrofil menjadi hidrofob) atau dibuat mempunyai suatu gugus fungsional
khusus. Contoh: film LDPE dapat diproses dengan surfaktan yang mempuyai satu
atau dua gugus yang dapat terpolimerisasi seperti gugus methacrylate atau
diacetylene. proses radiasi ultra violet dilakukan setelah adsorpsi surfaktan
di permukaan.
Penutup
Perkembangan teknologi surfaktan dan polimer yang begitu cepat dan
peraturan yang berubah dengan cepat mengharuskan penemuan sistem emulsi dan
surfaktan baru yang bersifat tidak merusak lingkungan dan berbiaya rendah.
Masih banyak wilayah penelitian yang dapat dikembangkan untuk penemuan sistem
emulsi dan surfaktan baru. Satu jenis surfaktan tidak mungkin diterapkan pada
semua sistem emulsi, sehingga masih diperlukan penelitian spesifik aplikasi
surfaktan yang dapat terpolimerisasi pada sistem tertentu.
No comments:
Post a Comment