Wednesday 30 December 2015

Surfaktan yang dapat terpolimerisasi: Peluang pemanfaatannya dalam industri

SURFAKTAN YANG DAPAT TERPOLIMERISASI: PELUANG PEMANFAATANNYA DALAM INDUSTRI. Surfaktan berasal dari singkatan surface active agent (agen aktif permukaan) yang secara bahasa berarti aktif pada permukaan. Surfaktan dibutuhkan dalam suatu proses / operasi seperti pada proses pembentukan emulsi cat. Setelah proses tersebut surfaktan kadang-kadang tidak dibutuhkan lagi, bahkan dapat bersifat negatif terhadap proses selanjutnya dan bersifat mengganggu lingkungan hidup karena sifatnya yang sulit diuraikan. Surfaktan yang dapat terpolimerisasi (polymerizable surfactant) dapat memecahkan masalah ini. Polimerisasi surfaktan terjadi pada tahap setting dan curing. Metoda terbaik polimerisasi surfaktan adalah dengan mereaksikan surfaktan dengan monomer atau binder. Kegunaan metoda ini adalah dalam aplikasi emulsi alkyd, polimerisasi emulsi, dan modifikasi permukaan.
Kata kunci: surfaktan yang dapat terpolimerisasi (polymerizable surfactant), surfaktan reaktif, polimerisasi, kopolimer, monomer

Pendahuluan
Surfaktan berasal dari istilah bahasa Inggris surfactant yang merupakan singkatan dari surface active agent. Arti literalnya adalah aktif pada permukaan. Dengan kata lain sifat surfaktan ditandai oleh kecenderungan berada pada permukaan dan antarfasa. Antarfasa adalah batas antara dua fasa yang tidak saling campur; sedangkan permukaan menunjukkan bahwa salah satu dari dari fasa adalah gas (biasanya udara). Ada lima antarfasa yang mungkin terbentuk:
• Padat-uap (permukaan)
• Padat-cair
• Padat-padat
• Cair-uap (permukaan)
• Cair-cair

Surfaktan cenderung mengadsorpsi permukaan untuk menurunkan energi bebas pada perbatasan antarfasa. Surfaktan dapat mengadsorpsi pada kelima jenis permukaan tersebut. Surfaktan yang sering diterapkan dalam industri adalah
antarfasa cair (cair-padat, cair-uap, cair-cair).
Beberapa antarfasa dapat muncul secara bersamaan pada banyak produk formulasi, Contohnya cat berbasis air (water-borne/water-based). Dalam sistem cat berbasis air muncul tiga antarfasa yaitu: padat-cair (dispersi partikel pigmen), cair-cair (antar fasa emulsi), dan sistem cair-uap (busa yang tidak diinginkan, tetapi dapat terbentuk). Semua antarfasa tersebut distabilkan dengan surfaktan (Jönsson, 1998) (Lihat Gambar 1). Surfaktan memainkan peran kunci dalam produksi dan penerapan polimer dispersi. Surfaktan sangat penting dalam pertumbuhan partikel latex, pengemulsian tetesan monomer berserta polimer yang sudah jadi, dan penstabilan pertikel polimer selama polimerisasi dan selama penyimpanan produk latex (Asua, 1998).

 Surfaktan memainkan peran kunci dalam produksi dan penerapan polimer dispersi. Surfaktan sangat penting dalam pertumbuhan partikel latex, pengemulsian tetesan monomer berserta polimer yang sudah jadi, dan penstabilan pertikel polimer selama polimerisasi dan selama penyimpanan produk latex (Asua, 1998).
Surfaktan - dalam banyak kasus- diperlukan pada tahap tertentu operasi, tetapi tidak diperlukan lagi pada tahap selanjutnya. Sebagai contoh kasus adalah pada aplikasi cat. Pada tahap pembuatan emulsi cat, surfaktan dibutuhkan sebagai emulsifier untuk binder (pendispersi pigmen dan agen pembasah substrat). Sebaliknya pada cat yang sudah kering surfaktan tidak dibutuhkan lagi, bahkan dapat menimbulkan masalah. Walaupun surfaktan dapat berdampak positif, yaitu membuat lapisan cat menjadi lunak dan fleksibel (karena surfaktan bertindak sebagai bahan pemlastis pada lapisan cat), tetapi dampak negatif surfaktan lebih besar yaitu surfaktan bermigrasi dari fasa utama menuju permukaan. Jumlah surfaktan pada lapisan tipis permukaan dapat mencapai konsentrasi 50% walaupun konsentrasi secara keseluruhan pada bahan hanya sekitar 1%. Akibatnya permukaan cat menjadi lengket, tidak tahan air, tidak tahan bahan kimia, serta menjadi sulit untuk dicat ulang (Jönsson, 1998).
Gambar 1. Ilustrasi sederhana surfaktan yang dapat terpolimerisasi
Grade (2001) menjelaskan bahwa ada tiga persoalan utama penggunaan surfaktan pada formulasi emulsi (latex) yaitu:
a. Stabilitas: gaya dari luar dapat mengakibatkan surfaktan terserap pada permukaan lateks. Surfaktan biasa, seperti sodium dodecyl sulfate, dalam kondisi gaya geser tinggi cenderung terdesorpsi, sehingga surfaktan tidak lagi melindungi latex dari flokulasi (Guyot, 2002).
b. Perlindungan (proteksi): adanya surfaktan pada lapisan film padat meningkatkan kerentanan permukaan terhadap air. Air dapat dengan mudah berdifusi ke lapisan film mengakibatkan pembengkakan permukaan film.
c. Penampakan: adanya surfaktan mengurangi tingkat kekilatan lapisan, mempermudah menempelnya kotoran pada lapisan, dan memucatkan lapisan pada kondisi lembab.

Selain itu masih ada masalah lain yang berhubungan dengan operasi yaitu recovery polimer dengan koagulasi surfaktan dapat berdampak negatif pada pengolahan limbah cair (Asua, 1998).
Salah satu cara mengurangi jumlah surfaktan ialah dengan menggantikan surfaktan dengan monomer fungsional seperti asam akrilat, asam metakrilat, akrilamida, metakrilamida dan turunannya, monomer tersulfonasi (seperti 2-sulfoethyl methacrylate, sulfopropyl acrylamide, dan styrene sulfonate). Walaupun demikian komonomer yang cukup besar masih diperlukan untuk memperoleh tingkat kestabilan yang cukup tinggi. Selain itu polimer bersifat larut dalam air sehingga menghasilkan pengaruh samping yang buruk (Asua, 1998).
Untuk mengatasi masalah di atas surfaktan perlu dihilangkan dari campuran emulsi, yaitu dengan cara menghidrolisis surfaktan (menghilangkan sifat surfaktan) atau dengan mempolimerisasi surfaktan. Secara umum kedua surfaktan ini dapat disebut surfaktan reaktif (reactive surfactants) yaitu surfactant yang dapat bereaksi setelah fungsinya selesai. Surfaktan yang dapat dihidrolisis populer pada aplikasi kosmetika, sedangkan surfaktan yang dapat terpolimerisasi (polymerizable surfactant) mulai berkembang dan telah diaplikasikan pada emulsi alkyd, polimerisasi emulsi dan suspensi, serta modifikasi permukaan. (Jönsson, 1998). Tinjauan tentang surfaktan yang dapat dihidrolisis di luar konteks pembahasan tulisan ini.
Proses polimerisasi emulsi dan suspensi digunakan dalam banyak produk polimer. Di antara produk-produk tersebut beberapa jenis dispersi polimer dalam produksi yang memerlukan surfaktan reaktif. Dispersi polimer digunakan dalam penerapan yang luas, seperti karet sintetik, cat, lem, dan binder untuk kain non tenun, aditif pada kertas dan tekstil, pengolahan kulit, modifikasi impak untuk matriks polimer, aditif bahan konstruksi, flocculant, modifikasi rheologi. Selain itu dispersi polimer juga digunakan pada penerapan biomedis dan farmasi (contoh pada pengujian diagnostik dan sistem pengantaran obat dalam tubuh) (Asua, 1998).
Pertumbuhan dispersi polimer dalam industri sangat cepat, disebabkan tiga hal:
1. Kepedulian lingkungan dan peraturan pemerintah yang mengakibatkan perlunya penggantian sistem berbasis solven dengan sistem berbasis air;
2. Dispersi polimer (latex) mempunyai sifat yang memenuhi persyaratan penerapan yang cukup luas; dan
3. Dibandingkan proses polimerisasi lainnya polimerisasi emulsi mempunyai banyak keuntungan nyata dari sudut pandang kemudahan pengendalian operasi proses dan sifat produk. Dispersi polimer dapat diproduksi melalui beberapa proses termasuk polimerisasi emulsi, polimerisasi emulsi terbalik (inverse emulsion polymerization), polimerisasi dispersi, polimerisasi miniemulsi, polimerisasi mikroemulsi, dan pengemulsian polimer yang telah jadi. Sejauh ini polimerisasi emulsi merupakan proses produksi polimer dispersi yang paling umum.
Pertumbuhan surfaktan yang dapat terpolimerisasi (surfaktan reaktif) selama beberapa tahun terakhir juga sangat cepat. Hasil pencarian paten di United States Patent Office menunjukkan bahwa pencarian istilah surfaktan reaktif untuk dokumen paten sejak tahun 1996-2002 menghasilkan 89 hits. Lebih dari 50% jumlah tersebut didaftarkan setelah tahun 2000. Aplikasi paten mulai dari pelapis permukaan, polimerisasi emulsi, pembuatan partikel nano, lem, tinta inkjet, teknologi cetak anti pemalsuan dokumen, pelapisan logam, dan sebagainya1. Bahkan sudah muncul enam produk komersial surfaktan reaktif2 antara lain Aldrich3 dan Uniqema4, dan banyak perusahaan besar telah mematenkan surfakan reaktif serta akan meluncurkan serangkaian produk surfaktan reaktif.
Masyarakat Uni Eropa sejak tahun 1993 telah memberikan perhatian khusus pada pengembangan surfaktan reaktif yang tercakup dalam proyek jangka panjang yang melibatkan puluhan universitas, peneliti, dan industri terkemuka di Eropa. Bagian pertama penelitian tersebut telah dilaksanakan pada tahun 1993-1996, sedangkan bagian kedua yang meneliti polimer pada adhesi dan perlakuan permukaan (surface treatment) dimulai pada Desember 1997 dan selesai pada February 2001 (Guyot, 2002). Hasil penelitian cluster kedua antara lain5:
1. Sebagian besar aplikasi cat berbasis solven telah dapat digantikan dengan cat berbasis air kecuali cat high gloss dengan mutu dan aliran yang baik serta cat industri yang mementingkan kualitas tinggi.
2. Cat berbasis air yang 100% tanpa solven masih jarang ditemukan karena masalah masih tingginya temperatur transisi gelas film yang terbentuk.
3. Trend pengembangan cat emulsi masa kini adalah usaha lebih lanjut untuk mengurangi rintangan cat high gloss dengan cara membuat sambung-silang (cross-link) pada emulsi setelah pembentukan film atau dengan menggunakan emulsi inti dan cangkang, di mana inti bersifat keras sedangkan cangkang bersifat lunak dan membentuk lapisan film.
4. Perlunya penelitian lebih lanjut tentang penggunaan surfaktan yang dapat terpolimerisasi atau surfaktan polimer.

Klasifikasi surfaktan yang dapat terpolimerisasi

Ada beberapa istilah lain untuk surfaktan yang dapat terpolimerisasi yaitu surfaktan reaktif6 (reactive surfactant) dan surfaktan tak berpindah (non-migratory surfactant),. Penelitian tentang surfaktan reaktif telah dirintis sejak sekitar tahun 1990.
Surfaktan reaktif ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis (Asua, 1998):
1. kombinasi surfaktan dan initiator (inisurf);
2. kombinasi surfaktan dan agen transfer (transurf);
3. kombinasi surfaktan dan monomer (surfmer) dengan sebutan lain: polymerizable surfactants, polymerizable emulsifiers, surface-active monomers, monomeric emulsifiers, dan monomeric surfactants .
Beberapa kelemahan sistem surfaktan reaktif:
1. Inisurf:
a. kestabilan sistem tidak dapat diatur tersendiri dengan hanya mengatur konsentrasi surfaktan reaktif tanpa mempengaruhi laju polimerisasi.
b. Faktor efisiensi inisurf sangat rendah akibat cage effect.
2. Transurf: kestabilan sistem tidak dapat diatur tersendiri dengan hanya mengatur konsentrasi surfaktan reaktif tanpa mempengaruhi distribusi berat molekul. Saat ini pemecahan masalah ini sedang diusahakan dengan mengunakan teknologi Revesible Addition Fragmentation Chain-Transfer (RAFT)
Sedangkan surfmer cukup berhasil digunakan dalam aplikasi polimerisasi emulsi. Ada tiga tipe surfmer yang potensial untuk aplikasi komersial yaitu: polymerizable surfactant anionik, polymerizable surfactant kopolimer balok non-ionik, dan sulfonated polybutadiene surfactants.
Polymerizable surfactant anionik yang potensial untuk aplikasi komersial berasal dari reaksi golongan monomer alkohol; seperti hydroxyethyl methacrylate, hydroxy propylmethacrylate, hydroxybutylacrylate, dan vinylbenzylalcohol; dengan maleic anhydride atau succinic anhydride. Dua jenis surfactan dari reaksi addisi hydroxyethyl methacrylate dengan maleic anhydride sudah beredar di pasaran (Guyot, 2002). Selain itu Einecs dan Akzo Nobel Resins juga telah mematenkan polymerizable surfactant anionik. Surfaktan tipe ini bahkan dapat diterapkan pada tinta cetak, pelapisan kertas, dan pelapisan logam7.
Polymerizable surfactant kopolimer balok non-ionik diproduksi dengan cara polimerisasi hidup anionik pembukaan cincin yang diikuti oleh pemberian balok propyleneoxide dan diakhiri reaksi dengan gugus yang dapat terpolimerisasi yang terikat pada atom halogen yang reaktif (Guyot, 2002).
Sulfonated polybutadiene surfactants telah dipatenkan pada tahun 2000 oleh Max Planck Institute, tetapi kendala harga yang tinggi masih menghalangi aplikasi surfaktan ini secara komersial.
Mekanisme polimerisasi surfaktan
Untuk mencapai performansi optimal diperlukan pemahaman tentang mekanisme yang terjadi pada polimerisasi heterogen dengan surfmer, dan penggunaan pengetahuan ini untuk memilih surfmer yang tepat dan implementasi proses yang optimal.
Syarat-syarat yang harus dimiliki surmer untuk memperoleh performansi optimal:
1. Surfmer yang digunakan termasuk surfaktan yang baik (harus dapat menstabilkan partikel polimer dengan baik).
2. Surfmer memungkinkan derajat emulsifikasi tertentu pada campuran monomer.
3. Konsentrasi Misel Kritis (CMC) surfmer harus serendah mungkin.
4. Surfmer harus dapat menghasilkan tahap nukleasi yang lancar dan dapat diulang-ulang dengan mudah.
5. Surfmer harus tidak bereaksi terlalu dini.
6. Semua surfmer harus sudah beraksi dan terikat secara kimia pada permukaan partikel.

Reaksi polimerisasi surfaktan reaktif dapat diklasifikasikan dari berbagai sisi: berdasarkan dari jenis monomernya (homopolimerisasi dan kopolimerisasi); berdasarkan proses curing yang terjadi (autooksidasi dan non-autooksidasi); dan berdasarkan posisi gugus yang terpolimerisasi (hidrofilik dan lipofilik).
Polimerisasi pada formulasi yang mengandung surfaktan reaktif dapat terjadi dengan cara homopolimerisasi dan kopolimerisasi. Homopolimerisasi hanya terjadi jika konsentrasi surfaktan ampifilik cukup tinggi. Pada kenyataannya, konsentrasi surfaktan terlalu rendah untuk dapat mengalami reaksi homopolimerisasi pada fasa curah, sehingga sebagian besar surfaktan reaktif merupakan monomer kopolimer. Satu lapis surfaktan dapat mengalami homopolimerisasi jika terserap pada daerah antarfasa. Lapisan palisade dapat terbentuk oleh adsorpsi dari permukaan larutan atau dengan migrasi melalui film.
Kopolimerisasi dapat terjadi dalam fasa curah. Apabila ada dua monomer yang bereaksi membentuk kopolimer, rasio reaktifitas antar monomer sebaiknya kurang dari satu agar menghasilkan kopolimer selang-seling. Harga rasio reaktifitas untuk kopolimerisasi monomer M1 dan surfaktan M2 sebaiknya r1 < 1 dan r2<1, r1=k11/k12, dan r2=k22/k21, di mana kmn adalah konstanta laju reaksi untuk empat reaksi yang mungkin:
M1* + M  → M1* laju=k11[M1*][M1]
M1* + M2      → M2* laju=k12[M1*][M2]
M2* + M1     → M1* laju=k21[M2*][M1]
M2* + M2     → M2* laju=k22[M2*][M2]
Reaksi polimerisasi yang terjadi pada surfaktan reaktif dapat terjadi secara autooksidasi atau dengan cara non-autooksidasi. Autooksidasi adalah reaksi curing yang disebabkan oleh oksigen. Reaksi ini dapat terjadi pada fasa bulk (kopolimerisasi) maupun pada satu lapis permukaan (homopolimerisasi). Contoh dua surfaktan yang mampu mengalami reaksi ini adalah: ethoxylated monoethanolamide dari asam linoleat dan ethoxylated dodecenyl succinic acid monoester dari trymethylpropanediallyl ether. Polimerisasi non-autooksidasi mencakup curing ultraviolet dan curing yang disebabkan panas dengan menggunakan initiator radikal bebas seperti benzoyl peroxide dan potassium persulfate. Seperti pada reaksi autooksidasi, baik fasa curah maupun permukaan dapat mengalami curing. Contoh surfaktan yang dapat mengalami polimerisasi non autoksidasi berasal dari gugus ester akrilat dan ester metakrilat, seperti: ester metakrilat dari kopolimer balok ethylene oxide dan butylene oxide berakhiran metil dan monododecylmonosulfopropyl maleate.
Ada dua kemungkinan bagian yang reaktif pada surfaktan reaktif, yaitu di bagian kepala (hidrofil) dan di bagian ujung (hidrofob). Distribusi initiator pada fasa air dan fasa minyak sangat berpengaruh terhadap kecepatan reaksi di bagian yang mengalami polimerisasi. Sebagai contoh apabila yang polimerisasi terjadi di bagian ujung (hidrofob) maka initiator yang dipakai haruslah dari jenis yang larut dalam minyak. Terjadinya crosslinking pada bagian hidrofil harus dihindari apabila surfaktan masih menjalankan peran penstabil setelah polimerisasi. Sedangkan pada kasus polimerisasi di bagian hidrofob harus dihindari adanya adsorpsi surfaktan pada permukaan hidrofob.

Aplikasi surfaktan reaktif

a. Emulsi alkyd
Alkyd adalah bahan adhesive yang berasal dari asam tak jenuh dan gliserol (Lapedes, 1978). Emulsi alkyd mencapai tingkat yang sangat penting sebagai konsekuensi peraturan yang berpihak pada pelestarian lingkungan (Wang, 2000). Hasil terbaik emulsifikasi diperoleh pada surfaktan non-ionik. Jika dibandingkan dengan alkyd berbasis solven, formulasi emulsi alkyd kering lebih lambat dan mempunyai sifat yang kurang baik. Lapisan keringnya biasanya lebih lunak dan lebih rentan terhadap air. Penggunaan surfaktan reaktif bisa mengatasi hal ini, contohnya asam lemah monoethanolamide ethoxylate yang berbasis fraksi asam lemak yang sangat tak jenuh. Lapisan alkyd yang mengandung surfaktan tipe ini kering lebih cepat dan lebih keras daripada surfaktan biasa (Jönsson,1998).
b. Polimerisasi emulsi
Penggunaan surfaktan yang dapat terpolimerisasi mempunyai peluang pasar yang sangat besar. Lebih dari dua juta ton polimer diproduksi tiap tahun dengan cara polimerisasi emulsi (Grade, 2001). Surfaktan yang dapat terpolimerisasi sangat menarik untuk digunakan dalam polimerisasi emulsi, karena mempunyai banyak keuntungan seperti telah dijelaskan sebelumnya. Keuntungan lain surfaktan yang dapat terpolimerisasi ialah dapat mengurangi masalah foaming (busa) dan masalah adsorpsi kompetitif. Adsorpsi kompetitif merupakan masalah serius dalam formulasi emulsi. Pelapisan (coating) latex yang berpigmen mengandung berbagai antarfasa di mana surfaktan dapat teradsorpsi seperti antar fasa binder-air, pigmen-ari, substrat-air, dari udara-air. Selain itu molekul surfaktan dapat membentuk misel atau membentuk gabungan bersama dengan bagian hidrofob dari thickener (Jönsson, 1998).
Bahan surfaktan dari gugus ester akrilat dan ester metakrilat dapat digunakan sebagai surfaktan reaktif untuk pembuatan latex. Selain itu turunan asam maleat sangat menarik karena tidak dapat mengalami homopolimeriasasi pada termperatur normal. Surfaktan reaktif yang dipilih sebaiknya mengalami kopolimerisasi daripada homopolimerisasi supaya tersebar secara merata di seluruh bagian emulsi. Jika polimerisasi di fasa air terlalu cepat polimer yang mengandung surfaktan lebih cenderung mengakhiri reaksi di bagian serum daripada di bagian permukaan partikel. Sedangkan jika polimerisasi surfaktan terlalu cepat maka surfaktan akan terkubur pada partikel polimer sehingga emulsi akan kehilangan kestabilannya.
Kualitas latex dengan surfaktan yang dapat terpolimerisasi sangat baik dibandingkan dengan surfaktan biasa terutama dilihat dari kestabilan latex. Sufaktan tidak terdesorpsi ke permukaan sehingga latex tetap mempunyai kestabilan yang tinggi walaupun latex diguyur dengan air sejumlah 150 kali volume latex.
c. Modifikasi permukaan
Modifikasi permukan padat dapat dilakukan dengan lapisan surfaktan yang teradsorpsi pada permukaan. Molekul surfaktan yang ada di permukaan dapat mengalami sambung silang sehingga lapisan tipis permukaan terbentuk. Kegunaan cara ini antara lain untuk mengubah sifat permukaan hidrofob menjadi hidrofil dan sebaliknya (hidrofil menjadi hidrofob) atau dibuat mempunyai suatu gugus fungsional khusus. Contoh: film LDPE dapat diproses dengan surfaktan yang mempuyai satu atau dua gugus yang dapat terpolimerisasi seperti gugus methacrylate atau diacetylene. proses radiasi ultra violet dilakukan setelah adsorpsi surfaktan di permukaan.

Penutup

Perkembangan teknologi surfaktan dan polimer yang begitu cepat dan peraturan yang berubah dengan cepat mengharuskan penemuan sistem emulsi dan surfaktan baru yang bersifat tidak merusak lingkungan dan berbiaya rendah. Masih banyak wilayah penelitian yang dapat dikembangkan untuk penemuan sistem emulsi dan surfaktan baru. Satu jenis surfaktan tidak mungkin diterapkan pada semua sistem emulsi, sehingga masih diperlukan penelitian spesifik aplikasi surfaktan yang dapat terpolimerisasi pada sistem tertentu.

No comments:

Post a Comment