Menuju
pada pengembangan sebuah sistem pemilihan modul untuk konstruksi di Indonesia. Knowledge regarding cost effectiveness and physical design
is very important aspect for project manager in selection of a construction
method, including selection of modular system for construction. This study aims
at identifying factors influencing contractors in selecting modular system in
Indonesia. Eleven contractors represented by their project managers who had
experiences with modular system in performing construction activities working
at Jakarta, Batam and Yogyakarta participated in this study. The study utilized
a structured questionnaire, supported by interviews. Data were analyzed using
relative important indices. Results indicate that five most important major
factors influencing decision in selecting modular system respectively are: 1)
plant-location; 2) labour-related; 3) project risk; 4) organization /
environment; and 5) plant characteristics. The paper also addresses the
possibility to implement the finding in developing a computer base modular
selection system for construction in Indonesia.
Keywords:
modular system, fabrication, construction method, computer system, Indonesia.
Pendahuluan
Pembangunan
di Indonesia khususnya dalam bidang konstruksi, membutuhkan efisiensi dan
efektivitas dalam pelaksanaannya, termasuk gedung yang relatif tua, dan tidak
dapat memenuhi fungsinya lagi sehingga dianggap tidak ekonomis untuk tetap
dipakai. Untuk itu
perlu diperbaharui dengan gedung yang lebih baru, tetapi
dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif cepat. Pada kondisi seperti itu
para arsitek dan ahli konstruksi ditantang untuk melakukan rancangan dan
pelaksanaan yang berpacu dengan waktu.
Pembangunan
proyek konstruksi sering harus berpacu dengan waktu menuntut penggunaan bahan
yang efisien, mudah dilaksanakan, cepat dan murah. Bangunan tidak dapat hanya
dilihat dari segi wujud keindahan saja, tetapi sudah harus merupakan sistem
yang terpadu mulai dari fungsi, kekuatan, estetika, kelengkapan bangunan,
pemeliharaan, kemungkinan perubahan/ pembongkaran, dan bahkan peluang untuk
berganti fungsi sekalipun. Hal ini perlu disadari karena umur teknis bangunan
dapat lebih lama dari umur ekonomisnya.
Bon
(1989) beranggapan bahwa bangunan sebagai suatu proses ekonomi, jadi setiap
desain bangunan akan berkaitan dengan nilai ekonomi yang sebanding dengan desain
tersebut. Karena itu, aspek ekonomi bangunan akan menunjukkan efisiensi dalam
desain disamping kemampu-jualan dari desain itu. Dalam segi efisiensi desain
diperlukan optimasi biaya untuk pembangunan, pemakaian, perawatan dan
penggantian. Optimasi ini sangat tergantung pada pemilihan desain, metoda
membangun, pemilihan bahan bangunan dan sebagainya. Sementara Stone (1976)
menunjukkan bahwa dua faktor pertimbangan yang sangat penting bagi bangunan
yaitu biaya dan nilai. Pertimbangan faktor biaya adalah pertimbangan yang
paling besar pengaruhnya. Secara langsung faktor biaya ini dipengaruhi oleh
harga bahan bangunan yang dipilih.
Pendapat
diatas secara gamblang menunjukkan bahwa bahan bangunan yang dicari oleh
industri konstruksi saat ini adalah bahan yang mampu memberikan penghematan
terhadap total biaya bangunan, baik dari segi harga bahan, teknologi
pelaksanaan, ketersediaan di pasar dan sebagainya. Perkembangan ini mengarah
pada pembuatan elemen pra-cetak yang didasarkan pada sistem modul.
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasikan
factor-fakator yang mempengaruhi kontraktor dalam pemilihan sistem modul, dan
mendiskusikan manfaat dari studi ini untuk pengembangan sebuah sistem berbasis
komputer dalam pemilihan modul dalam pelaksanaan konstruksi.
Prefabrikasi/Modularisasi
Efisiensi adalah faktor yang sangat penting dalam pelaksanaan
pembangunan gedung. Oleh karena itu, para pakar industri bangunan terus menerus
berupaya untuk menemukan jenis bahan bangunan baru yang mampu menunjang
efisiensi tersebut. Dengan pertimbangan pentingnya kualitas bangunan, sementara
ada pembatasan biaya dan waktu, maka penghematan bahan sudah menjadi hal yang
multlak. Lagi pula, dalam pelaksanaan di lapangan, sangat sulitnya pengendalian
pemakaian bahan sehingga sering menimbulkan terjadinya banyak sisa bahan/waste.
Bila masalah waktu sudah menjadi pertimbangan utama dalam suatu proyek, maka
prefabrikasi komponen-komponen bangunan (modularsasi) merupakan penyelesaian
yang tidak terelakkan. Dalam prefabrikasi sebagian kerumitan di lapangan telah
dapat dipindahkan ke pabrik.
Dari
segi fungsional, konstruksi harus bisa dibongkar kembali secara mudah, bila
terjadi ekspansi atau alih lokasi. Untuk itu konstruksi bangunan tidak mungkin
dirancang, misalnya dengan beton bertulang konvensional, tetapi harus bersifat
modular, agar tidak menyulitkan bila sewaktu-waktu dilakukan pembongkaran
total. Oleh sebab itu, sistem prefabrikasi merupakan salah satu sistem yang
tepat untuk dikembangkan dalam rangka mewujudkan konstruksi bangunan yang
fungsional ditengah pesatnya perkembangan teknologi konstruksi saat ini. Dengan
sulitnya ditemukan tukang-tukang yang ahli saat ini, sistem prefabrikasi memang
lebih menguntungkan baik dari segi waktu, ekonomis maupun kualitas.
Keuntungan
lain sistem prefabrikasi dapat disediakan dalam jumlah yang besar dan dapat
dikonsentrasikan di satu tempat. Sehingga pemakaian luas area bangunan akan
lebih efisien. Sementara itu sistem prefabrikasi yang dikembangkan selama ini
umumnya menggunakan bahan baku: beton precast, beton prestress,
metal, kayu, plastik, asbes dan campurannya, gipsum serta material komposit
lainnya. Sistem prefabrikasi dapat diaplikasikan secara luas untuk konstruksi
bangunan dengan mengandalkan kekuatan dan fungsinya. Selain memberikan banyak
keuntungan dan lebih praktis, juga mampu menghadirkan penampilan yang menarik.
Logika Konstruksi Modular
Perkowski (1988) berpendapat bahwa menurut para pengamat futuris,
konstruksi modular dapat memberikan keuntungan pada jobsite antara lain:
penghematan waktu ketika pekerjaan assembly dikerjakan paralel dengan
aktivitas lain di lapangan; semua interface telah diuji sejak awal;
mengurangi kesalahan karena kelalaian; tenaga kerja relatif stabil dalam
lingkungan pabrik, tidak terpengaruh cuaca; kurva belajar dapat diperoleh dari
percobaan pada unit yang sama; dan fabrikasi di pabrik biasanya lebih potensial
untuk otomatisasi daripada di lokasi proyek.
Kelayakan konstruksi modularisasi tergantung pada spesifik proyek,
organisasi yang terlibat, sosial, kondisi lingkungan sekitar dsb. Pada beberapa
lingkungan proyek yang nyata, seperti tempat yang terpencil, kondisi cuaca yang
keras, modularisasi adalah pilihan tepat. Pada tahap awal proyek, manajemen
harus membuat keputusan penggunaan modularisasi atau tidak, ini mungkin harus
diselidiki lebih lanjut.
Pada
masa lalu, metode konstruksi modular hanya digunakan ketika terdapat kendala
pada proyek seperti lokasi konstruksi yang terpencil dan terbelakang dalam
proses pembangunan. Lokasi konstruksi dengan kondisi lingkungan yang tidak
mendukung, proyek konstruksi memerlukan peralatan khusus, tenaga terampil atau
teknik-teknik yang hanya dapat dikontrol dalam lingkungan pabrik. Dalam situasi
ini keuntungan dari modularisasi antara lain:
1.
Tenaga kerja terampil dilapangan dapat lebih sedikit.
2.
Fabrikasi, perakitan dan pengetesan pada bagian-bagian utama dapat diselesaikan
oleh tenaga kerja terampil dalam lingkungan pabrik yang terkendali, sehingga
hasil yang diperoleh lebih dapat dipercaya, dan berkualitas tinggi.
3.
Dengan waktu penyelesaian yang lebih awal mungkin dihasilkan penghematan biaya
keseluruhan dan tingkat pengembalian suku bunga pinjaman bank lebih baik.
Faktor-Faktor Keputusan
Fisher and Skibniewski (1992) menunjukkan beberapa faktor yang
diperlukan untuk mempertimbangkan saat evaluasi pembangunan proyek dengan
sistem modul. Faktor-faktor ini dapat dipakai dalam bermacam-macam tingkat
keputusan pemilihan modularisasi. Seperti beberapa pembahasan pengetahuan-dasar
dengan para ahli pada konstruksi modular di badan usaha perancangan. Disini dibedakan
lima kategori faktor utama keputusan, yaitu: a) Perencanaan Lokasi, b)
Lingkungan dan Organisasi, c) Karakteristik Rencana, d) Pertimbangan Tenaga
Kerja, dan e) Resiko Proyek.
Koordinasi Modul
Dengan adanya Peraturan Menteri No. 40/PRT/1989 tentang penerapan
koordinasi Modul dalam pembangunan rumah dan gedung, maka penggunaan modul
dalam pembangunan fasilitas pemerintah harus mensyaratkan peraturan tersebut
dengan memperhatikan standar yang sudah ditetapkan, lihat Standar, (81, 89).
Menurut standar tersebut, ukuran-ukuran efektif dari setiap produk bangunan dan
elemen bangunan harus memungkinkan adanya penggantian/substitusi bahan,
komponen atau elemen bangunan dengan jenis yang lain. Koordinasi modul
merupakan suatu sistem koordinasi dimensional dari berbagai produk bahan,
komponen dan elemen bangunan dalam suatu bangunan yang didasarkan atas modul
dasar, multi-modul dan sub-modul. Standar tersebut ditetapkan antara lain
dengan pertimbangan bahwa penentuan ukuran dalam pembangunan rumah dan gedung ternyata
masih belum memperhatikan asas koordinasi yang rasional. Sehingga sistem
pembangunan menjadi kurang efektif dan menyebabkan terjadinya pemborosan dalam
penggunaan bahan bangunan. Dalam rangka meningkatkan dayaguna dan hasilguna
pelaksanaan pembangunan untuk menunjang pembangunan nasional maka perlu
diupayakan terciptanya keterpaduan dalam penerapan ukuran bahan bangunan,
komponen bangunan dan elemen bangunan dalam pembangunan rumah dan gedung.
Tujuan penerapan spesifikasi koordinasi modul ini agar dapat menghemat
penggunaan bahan bangunan, waktu pemasangan dan penggunaan tenaga kerja.
Penelitian
Dari unsur-unsur yang terlibat dalam konstruksi, pada tahap studi
ini kontraktor dipilih sebagai responden ini karena mereka dianggap paling
berpengalaman dalam pekerjaan modul ini. Kontraktor-kontraktor yang dipilih
adalah mereka yang pernah melakukan pembangunan dengan menggunakan sistem
modul. Mereka adalah kontraktor-kontraktor yang bekerja di Yogyakarta, Jakarta
dan Batam. Adapun waktu yang dipakai untuk penelitian adalah selama 5-6 bulan.
Dalam hal ini jumlah sampel yang diterima berjumlah 11 buah (Kaming &
Vendy, 2001). Daftar pertanyaan diadopsi dari Murtaza dkk (1993).
Pengumpulan
dan Pengolahan Data
Setelah
seluruh data terkumpul melalui kuisioner, dilanjutkan dengan analisis secara
deskriptif, kemudian dihitung indeks kepentingan relatif (IKR) dari seluruh
faktor yang diteliti, hasilnya diberi ranking sehingga diperoleh urutan dari
faktor-faktor pemilihan sistem modul. Faktor-faktor yang paling berpengaruh
dalam pemilihan sistem modul dilihat dari nilai IKR yang paling besar.
Hasil Studi
Pada penelitian ini didapatkan ranking keseluruhan dari 5 faktor
utama yang mempengaruhi pemilihan sistem modul pada pelaksanaan proyek
konstruksi. Secara urutan berdasarkan ranking pertama sampai kelima
faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sistem modul adalah seperti pada
Tabel 1.
Tabel 1. Ranking Faktor Yang
Mempengaruhi Pemilihan Sistem Modular.
No
|
Faktor
Yang Diteliti
|
IKR
|
Ranking
|
1
|
Faktor
Perencanaan Lokasi
|
0.74
|
1
|
2
|
Faktor
Organisasi Dan Lingkungan
|
0.69
|
4
|
3
|
Karakteristik
Rencana
|
0.68
|
5
|
4
|
Pertimbangan
Tenaga Kerja
|
0.72
|
2
|
5
|
Resiko
Proyek
|
0.70
|
3
|
Perhitungan secara keseluruhan subfaktor yang mempengaruhi
pemilihan sistem modul pada pelaksanaan proyek konstruksi yang dilakukan dengan
IKR bertujuan untuk mengidentifikasikan bahwa faktor perencanaan lokasi dengan
subfaktornya yaitu kemudahan transportasi merupakan subfaktor yang paling
tinggi tingkat frekwensinya terhadap pengaruh pemilihan sistem modul pada
pelaksanaan proyek konstruksi.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap faktor perencanaan lokasi
berdasarkan perhitungan nilai IKR, didapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Ranking Faktor Perencanaan
Lokasi
no
|
Faktor
Perencanaan Lokasi
|
IKR
|
Ranking
|
no
|
Faktor
Perencanaan Lokasi
|
IKR
|
Ranking
|
1
|
Kemudahan
transportasi
|
0.89
|
1
|
9
|
Ketersediaan
waktu untuk transportasi
|
0.71
|
9
|
2
|
Kapasitas
fabrikasi modul
|
0.82
|
4
|
10
|
Tersedianya
komoditi borongan
|
0.65
|
13
|
3
|
Peningkatan
biaya pada shipping dan handling
|
0.67
|
12
|
11
|
Kualitas
komoditi borongan
|
0.73
|
7.5
|
4
|
Penambahan
biaya Derek (lifting)
|
0.62
|
15
|
12
|
Biaya
transportasi untuk komoditi borongan
|
0.64
|
14
|
5
|
Ukuran
modul
|
0.78
|
5.5
|
13
|
Waktu
transportasi untuk komoditi borongan
|
0.69
|
10.5
|
6
|
Kondisi
cuaca
|
0.69
|
10.5
|
14
|
Ketersediaan
sarana konstruksi
|
0.85
|
2
|
7
|
Ketersediaan
tenaga kerja
|
0.73
|
7.5.
|
15
|
Kualitas
sarana konstruksi
|
0.78
|
5.5
|
8
|
Ketersediaan
sarana transportasi
|
0.84
|
3
|
Kemudahan transportasi merupakan subfaktor tertinggi karena
menempati ranking pertama. Sebagai faktor yang mempengaruhi pemilihan sistem
modul pada pelaksanaan proyek konstruksi dengan nilai IKR sebesar 0,89. Hal ini
sesuai dengan pendapat Whittaker (1984) ; Tan dkk (1984) yang berpendapat bahwa
rencana untuk pembangunan dengan sisteml modular terdapat beberapa kesulitan.
Perencanaan harus dipastikan lebih awal, jika terdapat beberapa perubahan dapat
menyulitkan. Biaya derek(lifting) dan angkutan(transport) sangat
besar.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap faktor Organisasi dan
Lingkungan berdasarkan perhitungan nilai IKR, dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Ranking Faktor Organisasi Dan
Lingkungan
no
|
Faktor
Organisasi Dan Lingkungan
|
IKR
|
Ranking
|
no
|
Faktor
Organisasi Dan Lingkungan
|
IKR
|
Ranking
|
1
|
Pembatasan
pemakaian modul
|
0.65
|
8
|
8
|
Penerimaan
pemilik tentang modularisasi
|
0.69
|
5
|
2
|
Perhatian
akses keluar
|
0.64
|
9.5
|
9
|
Pengertian
dari modularisasi
|
0.64
|
9.5
|
3
|
Batasan
sosial / lokal
|
0.60
|
12
|
10
|
Keterlibatan
awal operator
|
0.67
|
6.5
|
4
|
Persoalan
sosial
|
0.62
|
11
|
11
|
Kemauan
mencari paket studi modularisasi
|
0.56
|
13
|
5
|
Kemampuan
fabrikasi
|
0.82
|
2
|
12
|
Kemauan
bertahan dengan desain terbatas
|
0.67
|
6.5
|
6
|
Pengalaman
engineering & construction dalam modularisasi
|
0.87
|
1
|
13
|
keterlibatan
terus menerus dengan engineering & construction
|
0.76
|
3
|
7
|
Ketersediaan
pemilik sejak awal
|
0.73
|
4
|
Pengalaman engineering dan contruction dalam
modularisasi merupakan subfaktor terpenting yang mempengaruhi pemilihan sistem
modul pada pelaksanaan proyek konstruksi dengan nilai IKR sebesar 0.87. Hal
juga dijelaskan oleh Mullett (1984) yang berpendapat bahwa modularisasi
memerlukan engineering yang lebih teliti dan presisi dibandingkan dengan
perancangan yang bersifat tradisional.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap faktor Karakteristik
Rencana berdasarkan perhitungan nilai IKR dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Ranking Faktor Karakteristik
Rencana
no
|
Faktor
Karakteristik Rencana
|
IKR
|
Ranking
|
no
|
Faktor
Karakteristik Rencana
|
IKR
|
Ranking
|
1
|
Keterbatasan
fisik bangunan
|
0.78
|
1
|
7
|
Puncak
proses konstruksi
|
0.67
|
6
|
2
|
Kerumitan
sistem
|
0.76
|
2
|
8
|
Jaminan
keamanan dari pemilik
|
0.69
|
5
|
3
|
Pengaruh
pengeluaran fasilitas
|
0.60
|
11
|
9
|
Persyaratan
kebersihan
|
0.62
|
9.5
|
4
|
Keahlian
desain modular
|
0.75
|
3
|
10
|
Kemampuan
pengulangan / repeatability
|
0.71
|
4
|
5
|
Menentukan
areal yang tersedia
|
0.62
|
9.5
|
11
|
Tipe
proyek
|
0.65
|
7
|
6
|
Perlengkapan lokasi yang fleksibel
|
0.64
|
8
|
Keterbatasan fisik bangunan merupakan subfaktor terpenting yang
mempengaruhi pemilihan sistem modul pada pelaksanaan proyek konstruksi dengan
nilai IKR sebesar 0.78. Dengan sistem prefabrikasi produk yang dihasilkan dapat
disediakan dalam jumlah yang besar dan dapat dikonsentrasikan di satu tempat.
Sehingga pemakaian luas area bangunan akan lebih efisien.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap faktor pertimbangan
tenaga kerja berdasarkan perhitungan nilai IKR, dpat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Ranking Faktor Pertimbangan
Tenaga Kerja
no
|
Faktor
Pertimbangan Tenaga Kerja
|
IKR
|
Ranking
|
no
|
Faktor
Pertimbangan Tenaga Kerja
|
IKR
|
Ranking
|
1
|
Pengurangan
tenaga kerja pada lokasi proyek
|
0.85
|
1
|
4
|
Tingkat
keahlian tenaga kerja
|
0.69
|
4
|
2
|
Perbedaan
upah tenaga kerja
|
0.73
|
3
|
5
|
Tipe
tenaga kerja
|
0.67
|
5
|
3
|
Peningkatan
produktivitas
|
0.84
|
2
|
6
|
Penyelesaian
masalah secara hukum
|
0.53
|
6
|
Pengurangan tenaga kerja pada site merupakan subfaktor terpenting
yang mempengaruhi pemilihan sistem modul pada pelaksanaan proyek konstruksi
dengan nilai IKR sebesar 0.85. Subfaktor pengurangan tenaga kerja pada site
menempati peringkat pertama pada faktor pertimbangan tenaga kerja karena proses
produksi modul berlangsung di pabrik sehingga tenaga kerja yang
dibutuhkan/pekerjaan tangan dilapangan berkurang.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap faktor Resiko Proyek
berdasarkan perhitungan nilai IKR, dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Ranking Faktor Resiko Proyek
no
|
Faktor
Resiko Proyek
|
IKR
|
Ranking
|
no
|
Faktor
Resiko Proyek
|
IKR
|
Ranking
|
1
|
Peningkatan
keamanan lingkungan
|
0.71
|
3.5
|
4
|
Perbedaan
pada biaya pengendalian kualitas
|
0.71
|
3.5
|
2
|
Pengurangan
durasi/pemadatan jadwal
|
0.80
|
1
|
5
|
Pengurangan
biaya pada test peralatan
|
0.65
|
5
|
3
|
Penambahan
planning dan engineering
|
0.75
|
2
|
6
|
Pemeliharaan
site
|
0.60
|
6
|
Pengurangan schedule/jadwal
merupakan subfaktor menempati ranking pertama yang mempengaruhi pemilihan
sistem modul pada pelaksanaan proyek konstruksi dengan nilai IKR sebesar 0.8.
Hal ini juga didukung oleh Zambon dan Hull (1982); dan Glazer & Kramer
(1983) yang berpendapat bahwa dari berbagai studi pada proyek-proyek yang
mengguna sistem modular, menghasilkan peningkatan produktivitas dan dapat
mengendalikan mutu, karena pembuatan modul di pabrik yang jauh lebih
menguntungkan.. Dengan demikan pada akhirnya dapat diperoleh pengurangan biaya
keseluruhan proyek dan pengurangan durasi. Hal ini terjadi terutama pada proyek
yang memerlukan tenaga kerja dalam jumlah besar.
Kesimpulan & Saran
Perencanaan Lokasi, perencanaan tenaga kerja, dan resiko proyek
merupakan factor predominan dalam pemilihan sistem modul pada pelaksanaan
proyek konstruksi. Kemudahan trasportasi, ketersediaan sarana konstruksi, dan
tersediaan sarana transportasi adalah factor yang penting dalam perencanaan
lokasi. Pengurangan tenaga kerja di lapangan, peningkatan produktivitas adalah
aspek penting dalam factor pertimbangan tenaga kerja. Secara keseluruhan,
pertimbangan kemudahan transportasi, pengalaman engineering dan construction
dalam modularisasi, keterbatasan fisik bangunan, pengurangan tenaga kerja
di lokasi bangunan, dan pengetatan skedul adalah sub factor yang paling
berpengaruh pada pemilihan sistem modul dalam pelaksanaan proyek konstruksi,
maka dari studi disarankan kepada para kontraktor dan pemilik dalam mengambil
keputusan pemilihan sistem modular untuk mempertimbangkan subfaktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut dapat dipakai sebagai kriteria dalam pengambilan
keputusan dengan model proses hirarki analitikal. Dengan pertimbangan biaya dan
efisiensi kerja, sistem modul cocok digunakan untuk merehabilitasi
bangunan-bangunan pasca kerusuhan yang kini banyak ditelantarkan. Hasil dari
penelitian ini dapat digunakan sebagai pengetahuan dasar yang dapat diandalkan
untuk mengembangkan sebuah sistem berbasis komputer dalam pemilihan sistem
modul dalam pembangunan sebuah proyek konstruksi.
No comments:
Post a Comment